PENDAHULUAN
Pandangan orang tentang belajar terutama pemahaman tentang individu
telah berkembang dari masa ke masa. Salah satu kaidah ilmu kependidikan yang dijadikan dasar pengelolaan proses pembelajaran yang mendidik adalah teori belajar yang telah
dikembangkan oleh para ahli psikologi dan
ilmu pendidikan. Para ahli Psikologi
menghasikan teori belajar hanya untuk menyelesaikan masalah pada masa dimana ia
hidup. Namun urgensi teori dapat dipakai untuk permasalahan yang cocok di
masa-masa yang lain. Beberapa teori belajar dapat saling melengkapi untuk suatu
masalah, maupun masing-masing dapat menyelesaikan masalah pembelajaran yang berbeda.
. Teori belajar yang banyak mempengaruhi pemikiran tentang proses
pembelajaran dan pendidikan adalah teori belajar
Behaviorisme, Kognitivisme, Konstruktivisme, dan Humanisme. Masing-masing teori belajar tersebut memiliki sudut pandang
yang khas dalam menjelaskan pengertian
dan hakikat belajar dan pembelajaran,
akan tetapi semuanya saling
melengkapi dan memiliki dampak pedagogis yang relatif sama.
Oleh karena proses
belajar merupakan kegiatan
yang melibatkan keseluruhan potensi
psikis dan phisik peserta didik, maka pembelajaran yang mendidik harus berpusat pada peserta didik sesuai dengan
karakteristik masing-masing. Keaktifan peserta
didik harus diutamakan dalam proses pembelajaran. Peserta didik perlu didorong untuk memiliki keberanian untuk mengemukakan
pendapat, karena pada prinsipnya peserta didik mempunyai kemampuan.
Setiap manusia memiliki kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan,
penerimaan, pengagungan, dan cinta dari orang lain. Dalam proses pembelajaran, kebutuhan-kebutuhan tersebut
perlu diperhatikan agar peserta didik
tidak merasa dikecewakan.
Karena penulis telah mendapat tugas untuk membahas Teori Belajar
Humanisme maka dalam makalah ini akan ditelaah 3 teori belajar selain humanisme
yaitu Teori Belajar Behaviorisme, Kognitivisme dan Konstruktivisme.
BEBERAPA TEORI BELAJAR
A. TEORI
BELAJAR BEHAVIORISME
a.
Teori Belajar Respondent Conditioning
Teori belajar Respondent Conditioning (pengkondisian respon)
diperkenalkan oleh Pavlov, yang didasarkan
pada pemikiran bahwa perilaku atau tingkah laku merupakan respon yang
dapat diamati dan diramalkan Guy R. Lefrancois (1985) mempengaruhi
individu dan membawanya ke arah perilaku (respon) yang diharapkan.
Keterpakuannya pada perilaku yang aktual dan yang dapat diamati atau terukur
itu yang menyebabkan teori ini digolongkan ke dalam teori behaviorisme.
Fisiolog Pavlov (1849-1936) mengkaji stimuli (rangsangan tak
bersyarat) yang secara spontan memanggil respon. Stimuli di lingkungan misalnya
sorotan lampu memancing respon refleks.
Respon, berupa refleks yang terpancing stimuli, disebut responden. Responden (respon tak bersyarat) muncul
di luar kendali kemauan bebas seseorang.
Hubungan rangsangan bersyarat dengan respon itu spontan, bukan hasil belajar. Namun perilaku refleks dapat muncul
sebagai respon atas stimuli yang sebenarnya tidak otomatis memancing
respon. Melalui conditioning, stimuli netral (netral
spontan) memancing refleks namun sengaja dibuat agar mampu memancing respon refleks. Bila satu stimuli menghasilkan
respon, maka stimuli kedua yang tidak relevan dihadirkan serempak dengan stimuli
pertama, dan akhirnya respon tadi muncul tanpa perlu menghadirkan stimuli
pertama.
Contohnya adalah, apabila lampu disorotkan ke mata, pupil mata menyempit. Jika lonceng dibunyikan tiap
kali lampu disorotkan ke mata, bunyi lonceng saja membuat pupil mata
menyempit. Pebelajar terkondisi oleh bunyi lonceng. Pengkondisian
melemah kemudian sirna, jika secara berulang
individu mendengar lonceng tanpa sorotan lampu. Setelah stimuli netral (bunyi lonceng berulang-ulang) dipasangkan pada
stimuli efektif (sorot lampu), maka stimuli netral akan membuahkan respon yang
sama dengan yang dimunculkan oleh
stimuli efektif. Implikasi kependidikan dari teori belajar respondent conditioning ini dibuktikan lewat penelitian C. Joan Early (1968) dimana peserta didik kelas 4 SD disurvei dengan menggunakan sosiometri. Survei
ini bermaksud mengidentifikasi peserta didik yang terasing dalam pergaulannya
di kelas. Berdasarkan sosiogram, peserta didik yang terisolir diperlakukan sebagai kelompok eksperimen,
sedangkan peserta didik yang tidak
terisolir diperlakukan sebagai kelompok kontrol. Kedua kelompok peserta didik diberi tugas mempelajari sejumlah
kalimat yang bernada positif dan
kalimat yang bernada netral. Selanjutnya masing-masing kelompok diminta bermain secara bebas dengan tugas
memasangkan nama dirinya dengan
kalimat tertentu. Kelompok eksperimen (peserta didik yang terisolir) diminta memasangkan nama dirinya dengan kalimat
bernada positif seperti teman yang
sangat menyenangkan” atau “teman yang periang”. Sedangkan kelompok kontrol (peserta didik yang tidak
terisolir) diminta memasangkan nama
dirinya dengan kalimat bernada netral seperti “teman yang biasa saja” atau “teman yang tidak istimewa”.
Selama permainan guru melakukan pengamatan perilaku peserta didik pada situasi bermain
bebas tersebut. Hasil analisis
data pengamatan menunjukkan ada kecenderungan peserta didik lebih
mendekati peserta didik terisolir di kelompok eksperimental dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Setelah permainan
selesai dilakukan lagi
pengukuran sosiometri, dan sosiogramnya menunjukkan bahwa
peserta didik kelompok eksperimental (peserta
didik yang terisolir) lebih diterima atau disukai oleh temannya daripada peserta didik kelompok kontrol (peserta
didik yang tidak terisolir). Hal ini
berarti, peserta didik di kelompok eksperimen tidak lagi terisolir dari temannya
setelah dikondisikan melalui permainan bebas tersebut.
Eksperimen di atas
menunjukkan bahwa peserta didik belajar tentang sikap positif dan prasangka
buruk. Proses belajar tentang prasangka buruk lewat
kegiatan mengasosiasikan kualitas pribadi
negatif pada kelompok sebaya, tetapi mereka juga belajar membentuk sikap positif dan kooperatif lewat bermain bersama
seraya mengasosiasikan kualitas
pribadi perseorangan dan kelompok.
Contoh lain penerapan
teori belajar respondent
conditioning adalah yang dilakukan
pula oleh J. Wolpe (1958) untuk menangani reaksi cemas melalui kegiatan penurunan kepekaan
secara sistematis
(systematic disensitization). Stimuli
di lingkungan yang memicu reaksi
cemas, diubah lewat kegiatan mengkondisikan respon pengganti rangsangan yang tidak selaras dengan respon cemas.
Prosedur ini menggunakan respon
relaksasi otot. Isyarat pemicu cemas dipasangkan dengan respon relaksasi. Individu diminta bersikap
relaks dan membayangkan pemandangan berisyarat pemicu cemas ringan. Hal ini
sesuai dengan kenyataan bahwa pada waktu bersantai, cemas ringan dihambat oleh sikap santai itu. Secara bertahap,
seraya bersantai dipasangkan isyarat pencetus cemas ringan, isyarat
pemicu cemas makin dinaikkan kadarnya,
dibayangkan tanpa ada respon sama sekali atau ada respon tetapi
kecil saja. Relaksasi berasosiasi dengan
hirarki pemandangan yang dibayangkan. Akhirnya kemampuan stimuli membangkitkan kecemasan menjadi lenyap.
Pengubahan perilaku respondent conditioning seperti dicontohkan di atas, dapat pula digunakan untuk membantu peserta didik
yang mengalami masalah suka makan
berlebihan, peminum alkohol atau penyimpangan perilaku seksual.
b.
Teori Belajar Operant Conditioning
B.F. Skinner sebagai tokoh teori belajar
Operant Conditioning berpendapat bahwa belajar menghasilkan perubahan perilaku yang dapat diamati,
sedang perilaku dan
belajar diubah oleh kondisi lingkungan. Teori Skinner (1954) sering disebut Operant Conditioning yang
berunsur rangsangan, respon, dan konsekuensi. Stimuli (tanda/syarat)
bertindak sebagai pemancing respon, sedangkan konsekuensi tanggapan
dapat bersifat positif atau negatif,
namun keduanya memperkukuh atau memperkuat (reinforcement).
Perbandingan antara teori
belajar Classical Conditioning dan teori
belajar Operant Conditioning
dikemukakan oleh Skinner
dan Lefrancois. Skinner menyebutkan bahwa banyak respon yang tidak hanya
dipancing stimuli tetapi dapat dikondisikan pada stimuli lain. Respon ini
adalah kategori perilaku pertama, disebut respondent behavior karena perilaku muncul sebagai respon atas stimuli.
Selanjutnya dapat muncul kategori
perilaku ke dua (perilaku yang tidak dipancing stimuli), yang disebut operant behavior sebab telah dikerjakan
pebelajar. Sedangkan Guy R. Lefrancois
(1985) memilah perbedaan antara keduanya sebagai berikut.
Respondent
Conditioning (Pavlov)
|
Operant
Conditioning (Skinner)
|
Peserta didik disebut respondents, yang dipancing reaksinya
atas lingkungan (contoh: marah atau tertawa), menjawab 2 setelah guru bertanya jumlah
saudara kandungnya (reaksi otomatis atas situasi spesifik).
|
Peserta didik disebut operants, yang dipancing aksi
intrumentalnya pada lingkungan (contoh:
menyanyi, menulis surat, mencium bayi, membaca buku) sebagai tindakan
spontan, kendali dari diri sendiri
|
Model perilaku belajar
yang digambarkan di atas menunjukkan bahwa hadiah (reward) hadir beriringan dengan situasi atau
stimuli yang membedakannya dari situasi lainnya, pada saat diberi penguatan. Penguatan ini berfungsi
sebagai stimuli yang memunculkan perilaku
operant (seusai belajar berlangsung). Ketika perilaku operant diperkukuh, peluang munculnya perilaku seperti ini di masa
mendatang akan semakin meningkat. Contoh penerapan operant learning di kelas
adalah sebagai digambarkan berikut
ini.
Stimuli
|
Operant Response
|
Konsekuensi
|
implikasi
|
Guru
bertanya
|
Peserta didik
menjawab
|
Dijawab benar, guru berkata:bagus(reinforcement)
|
Peserta didik terdorong menjawab
|
Guru menjelaskan
|
Peserta didik saling
mengobrol dengan teman
|
Guru mengurangi jam
istirahat selama 10 menit sebagai hukuman (punishment)
|
Peserta didik terdorong untuk tidak
mengobrol dengan teman
|
Materi pelajaran diujikan
|
Peserta didik mempelajari bahan berulang kali
|
Peserta didik mendapat nilai baik
|
Peserta didik terdorong untuk belajar dengan cara yang
sama
|
Tidak seluruh situasi ditangani atau direspon
pebelajar walaupun ada peluang terjadinya
operant learning, karena
dalam diri pebelajar
terjadi generalisasi,
diferensiasi, atau diskriminasi. Generalisasi adalah pola merespon yang
dilakukan individu terhadap lingkungan atau stimuli serupa, sedangan
diferensiasi adalah pola merespon individu dengan cara mengekang diri untuk
tidak merespon karena ada perbedaan antar dua situasi serupa meski tidak sama,
yang sebenarnya sesuai direspon. Menggeneralisasi berarti
merespons situasi serupa,
sedangkan mendeferensiasi berarti merespon dengan cara membedakan antara
situasi saat dua respon identik yang tidak sesuai dimunculkan. Misalnya, bayi
belajar sejak awal bahwa jika ia menangis, ia diperhatikan ibu. Oleh sang ibu,
perilaku bayi ini segera digeneralisasi dari situasi spesifik ‘ketika
diperhatikan ibu’ ke situasi baru ‘waktu si bayi menginginkan’. Ibu bijak
mendorong belajar diskriminasi pada bayi dengan sekedar tidak memperhatikanya
pada situasi tertentu, misalnya ketika ibu sedang tidak mau diganggu. Waktu
menerima telpon, ibu mengabaikan bayi yang merajuk. Bayi segera
belajar mendiskriminasikan situasi
di mana perilaku
pemancing perhatian tidak diperkukuh
dengan situasi serupa
yang cenderung diperkukuh (reinforced).
Penerapan operant conditioning dalam
pendidikan dikemukakan oleh Fred Keller (1968) dengan judul kegiatan self-paced learning. Guru merancang mata
pelajaran yang dilengkapi bahan bacaan untuk dikaji pebelajar. Ketika pebelajar
merasa siap diuji, ia menempuh tes agar lulus pada penggalan belajar yang telah
ditempuhnya. Jika lulus, ia maju ke panggalan belajar berikutnya. Jadi
pebelajar sendiri yang menetapkan kecepatan dan jangka waktu belajarnya.
Penerapan lainnya adalah berupa
metode pengubahan perilaku.
Beberapa pakar pendidikan
memandang masalah emosi individu yang terjadi karena lingkungan terbentuk
dalam rangkaian kontingensi yang salah.
Artinya perilaku negatif terlanjur terjadi karena diberi penguatan. Individu
berperilaku suka mengganggu karena ia mendapat penguatan, baik atas hasil
kenakalan maupun atas kekaguman teman sebanyanya. Prosedur pengubahan perilaku
dilakukan melalui penggantian
perilaku mengganggu itu dengan perilaku yang disetujui guru.
c.Teori Observational Learning (Belajar
Pengamatan) atau Socio-Cognitive Learning
(Belajar Sosio-Kognitif)
Proses belajar yang berhubungan
dengan peniruan disebut belajar observasi (observational learning). Albert
Bandura (1969)
menjelaskan bahwa berlajar observasi
merupakan sarana dasar untuk memperoleh perilaku baru atau mengubah pola perilaku yang sudah dikuasai. Belajar
observasi biasa juga disebut belajar sosial (social learning) karena yang menjadi obyek observasi pada umumnya
perilaku belajar orang lain. Belajar sosial mencakup belajar berperilaku
yang diterima dan diharapkan publik agar
dikuasai individu. Di dalam belajar sosial, berlangsung proses belajar berperilaku yang tidak diterima
publik. Perilaku yang diterima secara sosial itu bervariasi sesuai budaya,
sub-budaya dan golongan masyarakat.
Masyarakat
menghendaki setiap orang mampu menempatkan diri sesuai usia, kedudukan, pendidikan dan jenis kelamin dalam
konteks relasi antar pribadi. Hal ini berkenaan dengan penyikapan diri di hadapan orang lain. seakrab apapun
sikap guru, peserta didik
menahan diri untuk berperilaku polos, dan bebas pada gurunya. Paling tidak ada rasa segan yang membatasi peserta didik, dan guru
bersikap apa adanya dalam pergaulan mereka.
Pada masyarakat demokratis perilaku sosial seseorang diselaraskan dengan peran yang dipikul. Hal ini
berkaitan dengan harapan sosial agar orang berperilaku sesuai dengan
peran sosial. Pergaulan sosial yang selaras antara lawan jenis kelamin sangat tergantung pada pola berperilaku yang
dipandang sesuai dengan budaya yang berlaku di masyarakat, tetapi masih
terdapat perbedaan pada kelompok usia dan
karakteristik individual seseorang.
Diterima atau tidak diterimanya perilaku
sosial ditentukan oleh situasi dan tempat.
Perilaku di tempat pekerjaan tentu lebih formal. Seorang atasan dikunjungi stafnya di rumah akan memperlakukan stafnya sebagai
seorang tamu yang harus lebih
dihargai karena posisi sebagai tamu itu. Contoh ini menunjukkan bahwa social learning mengkaji rangkaian perilaku yang dapat
diterima secara sosial dalam kondisi
apa saja. Belajar meniru disebut belajar
observasi (observation learning), yang meliputi aktifitas menguasai
respon baru atau mengubah respon lama sebagai hasil
dari mengamati perilaku model.
Albert Bandura (1969)
mengartikan belajar sosial sebagai aktifitas meniru melalui pengamatan (observasi). Individu yang perilakunya
ditiru menjadi model pebelajar yang meniru. Istilah modeling digunakan untuk
menggambarkan proses belajar sosial.
Model ini merujuk pada seseorang yang berperilaku sebagai stimuli bagi respon pebelajar. Konsep dan prinsip peniruan
dalam belajar sosial dapat dijelaskan
sebagai berikut.
1) Model yang ditiru para peserta didik dapat
berupa (a) real-life model atau model kehidupan nyata; (b) symbolic-model yang
disajikan secara simbolis lewat pembelajaran lisan, tertulis, peraga dan kombinasi dan gambar; dan (c) representative model yang penayangannya lewat
televisi dan video.
Dalam proses pembelajaran
di sekolah, yang diperlukan peserta didik adalah exemplary-model (keteladanan) yang mendemonstrasikan perilaku prososial atau perilaku yang diinginkan. Misalnya
seorang ibu guru mengatakan kepada peserta didiknya: “Mengapa kita tidak meneladani perilaku ibu Theresa?” Segi
pembelajaran sosialisasi ini kritis
karena kebanyakan perilaku yang tersosialisasikan, termasuk di dalamnya perilaku antisosial dan perilaku menyimpang
dipelajari melalui meniru model.
2) Belajar sosial
melalui peniruan dapat memberi penguasaan perilaku awal itu bersifat kontiguitas (kerapatan moment amat dekat dengan kejadian yang diamati),
yaitu rentetan perilaku yang dilihat atau didengar individu lewat pancaindera.
Daya perilaku yang dikuasai sekedar melalui pengamatan itu tergantung pada
penguatan. Teori ini
biasa juga disebut
teori modeling kontiguitas, yang pada prinsipnya mengkondisikan
peserta didik belajar sebaikbaiknya
di depan model pada waktu dan ruang yang tepat. Penguatan melalui insentif (hadiah) inilah yang membuat individu
belajar, apakah itu sebagai selfreinforcement
ataupun sebagai external-reinforcement.
3) Faktor yang mempengaruhi perilaku meniru adalah (a) konsekuensi respon
model
pada individu dalam kerangka hadiah dan hukuman; meniru dimudahkan ketika model
yang dikerjakan di
hadapan individu, perilakunya
diberi penguatan. Meniru dihambat bila model
perilaku dihukum. Jika individu tahu model
diberi hadiah atau hukuman, walaupun ia tidak mengamati kinerja perilaku itu, ada kecenderungan yang sama untuk
melakukan perbuatan meniru atau tidak
meniru; (b) karakteristik individu dijelaskan dalam latar belakang individu yang cenderung mudah meniru apabila:
a)
Merasa
kurang harga diri atau kurang cakap karena terlalu sedikit diberi pujian
setelah mengkinerjakan perilaku
yang cocok dengan perilaku prososial;
b)
Pernah
dipuji karena mengkinerjakan perilaku prososial;
c)
Sering dipuji
karena berkompromi dengan
mengkinerjakan perilaku prososial sehingga tergantung pada pujian
itu;
d)
Memandang
diri lebih mirip dengan model dalam beberapa segi perilaku atau keadaan tertentu;
e)
Terangsang
secara emosional sebagai akibat stres yang bersumber dari lingkungan atau pengaruh bahan pemabuk.
John W. Santrock (1981) menyebut pandangan
Albert Bandura tentang teori belajar
sosial sebagai teori belajar sosial kognitif. Hal ini didasarkan pemikiran
bahwa meniru perilaku model melibatkan proses-proses psikologis yang sangat bersifat kognitif seperti dikemukakan berikut
ini.
a.
Perhatian
(attention): peserta didik mengamati
perilaku model dan proses meniru dipermudah
apabila peserta didik
diberi tahu harus mengkinerjakan yang didemonstrasikan guru. Guru yang berwibawa,
hangat dan khas membuat peserta didik bersedia memusatkan perhatiannya.
b.
Ingatan (retention): untuk mengkinerjakan
kembali apa yang didemonstrasikan guru menghendaki agar peserta didik menyimpan di dalam ingatan sehingga dapat
tereproduksikan kembali kesan
itu, proses ini
ditopang dengan mengucapkan secara lisan perilaku model yang telah peserta didik
dengar/lihat; untuk itu guru perlu
mengucapkan secara gamblang setiap deskripsi tahapan perilaku yang didemonstrasikannya.
c.
Kinerja motorik (motorik reproduction): kinerja
peserta didik ditentukankapasitas ingatan yang
sejalan dengan perkembangan keterampilan motoriknya, karena itu guru
perlu memastikan perilaku
yang didemonstrasikan selaras kemampuan peserta didik menirukan.
d.
Kondisi penguatan dan
insentif: peniruan berlangsung memuaskan bila insentif,baik dari diri peserta didik sendiri (rasa puas) dan dari guru/teman sekelas
berupa kekaguman lisan atau
non-verbal seperti anggukan dan senyuman tulus.
Bandura merumuskan perilaku ditentukan
konsekuensi hasil tindakan individu sendiri serta konsekuensi tindakan orang-orang lain pada diri individu
itu. Penguatan diri
sama pentingnya dengan penguatan dari orang lain. Oleh sebab itu, perilaku pebelajar perlu dipahami melalui analisis
interaksi timbal-balik antara perilaku dengan kondisi pengendali perilaku itu. Perilaku pebelajar sebagian
membentuk lingkungan dan lingkungan yang terbentuk itu selanjutnya membentuk
perilaku. Kegiatan belajar ditempuh melalui pemajanan (exposure) model kompeten yang mendemostrasikan
cara pemecahan masalah. Belajar dilakukan dengan mengamati perilaku orangtua, teman sebaya, guru dan orang
lain dalam wujud belajar sosial modeling.
Model belajar semacam ini sering pula disebut vicarious learning dengan misalnya guru mendemostrasikan senyuman manis pada peserta didik yang menyerahkan
tugas sekolah tepat waktu. Peserta didik lain melihat ekspresi lega
model dan mereka termotivasi untuk meniru
dengan segera menyerahkan tugasnya pula.
Awal tahun 1970-an Bandura
mengajukan pandangan proses-proses kognitif sangat menentukan dalam upaya memahami
pola meniru/modeling, di samping self-reinforcement ikut berperan dalam
pengendalian perilaku (kendali diri). Dijelaskan oleh Bandura
bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh respon pada lingkungan, sekaligus individu membentuk
lingkungannya sendiri melalui pengendalian stimuli lingkungan.
Oleh karena itu, Walter Mischel (1973) cenderung menggunakan istilah cognitive social-learning theory, karena di dalamnya terkandung hal-hal berikut.
a)
Harapan
(expectancies): harapan belajar atas
perilaku sendiri dan perilaku orang
lain adalah penentu perilaku itu.
b)
Strategi
memproses informasi dan memaknai stimuli secara pribadi: cara pebelajar
memproses informasi yang masuk dan mentransformasikan stimuli mempengaruhi
perilakunya. Sebagian pebelajar menyimak stimuli tertentu, dan sebagian
lainnya mementingkan stimuli
lain. Ketika stimuli
sama dipajankan pada seorang pebelajar, maka stimuli itu dikategorikan
berbeda ketika disajikan pada pebelajar lain.
c)
Anutan
nilai-subyektif dilekatkan pada stimuli (subjective
stimuli values): anutan nilai yang diletakkan seseorang pada satu stimuli
adalah penentu penting perilakunya. Anutan nilai itu menurut spesifikasi rumit,
dan hanya berlaku pada situasi
atau orang khusus.
Joseph
Wolpe (1963) menggambarkan sifat situasional cemas; fakta
cemas hanya muncul di situasi tertentu. Seorang peserta didik putra sangat
cemas ketika dites matematika, namun
tidak cemas ketika dites bahasa Inggris. Kecemasan menghebat ketika teman putrinya duduk di dekatnya, namun
berkurang ketika berdampingan dengan
golongan putri lainnya. Jadi perilaku dan persepsi tentang perilaku tergantung pada konteks sehingga pengertian
ini disebut situasionalisme. Rancangan dan sistem
pengaturan-diri (self-regulatory
systems and plans): penguatan-diri,
kritik-diri dan patokan perilaku pribadi bervariasi pada peserta didik.
Perilaku tertentu penting bagi seorang peserta didik tetapi mencemarkan bagi
peserta didik lainnya. Dua peserta
didik mendapat nilai 6,5 pada pelajaran biologi. Yang satu membuang kertas pekerjaannya karena kecewa pada
nilai itu. Sedang peserta didik satunya
tersenyum, bicara sendiri,merasa cukup pintar dengan nilai lulus itu. Keduanya merespons berbeda pada stimuli yang sama
karena perbedaan patokan dalamberperilaku
pribadi. Di samping itu peserta didik mampu menyusun rancangan kognitif yang rumit.
Pada prinsipnya kajian teori behaviorisme mengenai hakikat belajar
berkaitan dengan perilaku atau tingkah laku.
Hasil belajar diukur berdasarkan terjadi-tidaknyaperubahan tingkah laku atau pemodifikasian tingkah laku yang lama
menjadi tingkah laku yang baru.
Tingkah laku dapat disebut sebagai hasil pomodifikasian tingkahlaku lama , sehingga apabila tingkah laku yang
lama berubah menjadi tingkah lakuyang baru dan lebih baik dibandingkan
dengan tingkah laku yang lama. Perubahan tingkah
laku di sini bukanlah perubahan tingkah
laku tertentu, tetapi perubahan tingkah
laku secara keseluruhan yang telah
dimiliki oleh seseorang. Hal itu berarti perubahan tingkah laku itu
menyangkut perubahan tingkah laku
kognitif, tingkah laku afektif dan tingkah
laku psikomotor. Menurut pendapat Staton (1978) hasil belajar dalam ranah kognitif, afektif, dan
psikomotor sebaiknya seimbang.
Pada prinsipnya teori belajar Behavirisme
menjelaskan bahwa belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku
sebagai hasil pengalaman individu beriteraksi dengan lingkungannya. Perubahan yang terjadi dalam diri individu banyak
ragamnya, baik sifat maupun jenisnya. Karena
itu tidak semua
perubahan dalam diri
individu merupakan perubahan dalam arti belajar. Jika tangan seorang anak bengkok
karena jatuh dari sepada motor, maka
perubahan seperti itu
tidak dapat dikategorikan
sebagai perubahan hasil belajar.
Demikian pula perubahan tingkah laku seseorang karena mabuk tidak dapat dikategorikan sebagai hasil
perubahan tingkah laku karena belajar.
Atas pijakan yang demikian, maka karakterisitik perubahan tingkah laku dalam belajar, mencakup
hal-hal seperti dikutip berikut ini.
a. Perubahan tingkah laku terjadi secara sadar
Setiap individu
yang belajar akan
menyadari terjadinya perubahan tingkahlaku
atau
sekurang-kurangnya merasakan telah
terjadi perubahan dalam
dirinya. Sebagai misal, seseorang merasa pengetahuannya bertambah,kecakapannya bertambah, keterampilanya, bertambah, kemahirannya bertambahdan sebagainya.
b. Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional
Perubahan
yang terjadi dalam diri individu berlangsung terus menerus dan tidak statis. Satu
perubahan yang terjadi akan
menyebabkan perubahan berikutnya.
Misalnya jika seseorang anak belajar menulis, maka ia akan memahami
perubahan dari tidak
dapat menulis menjadi
dapat menulis. Perubahan ini berlangsung terus hingga kecakapan
menulisnya menjadi lebih baik. Ia
dapat menulis indah, dapat menulis dengan pulpen, dapat menulis dengan pensil, patur tulis dan sebagainya. Di
samping itu dengan kecakapan menulis
ia dapat memperoleh kecakapan lain seperti dapat menulis surat, menyalin catatan, mengarang, mengerjakan soal dan
sebagainya.
c. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan
aktif
Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan senantiasa
bertambah dan tertuju untuk
memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian makin banyak usaha belajar dilakukan makin banyak dan
makin baik perubahan yang
diperoleh. Perubahan yang
bersifat aktif artinya perubahan itu
tidak terjadi dengan
sendirinya melainkan karena
usaha individu sendiri
d. Perubahan dalam belajar tidak bersifat
sementara
Perubahan yang
bersifat sementara atau
temporer terjadi hanya
untuk beberapa saat saja, seperti berkeringat,
keluar air mata, bersin dan dan sebagainya,
tidak dapat dikategorikan sebagai perubahan dalam arti belajar. Perubahan yang terjadi karena proses belajar
bersifat menetap atau permanen. Itu
berarti bahwa tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap. Misalnya kecakapan seseorang memainkan
piano setelah belajar, tidak akan
hilang begitu saja melainkan akan terus dimikili bahkan akan makin berkembang jika terus dipergunakan atau
dilatih
e. Perubahan dalam belajar bertujuan
Perubahan
tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai. Perbuatan belajar terarah kepada perubahan tingkah laku yang
benar-benar disadari. Misalnya
seorang yang belajar
komputer, sebelumnya sudah menetapkan apa
yang dapat dicapai
dengan belajar komputer.
Dengan demikian perbuatan
belajar yang dilakukan
senantiasa terarah kepada tingkahlaku yang telah ditetapkan
f. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku
Perubahan yang
diperoleh individu setelah melalui suatu proses belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku.
Jika individu belajar sesuatu, sebagai hasilnya
mengalami perubahan tingkah
laku secara menyeluruh dalam
sikap, keterampilan, pengetahuan dan sebagainya. Sebagai contoh, jika adalah dalam keterampilan naik sepeda. Akan tetapi
ia telah mengalami perubahan lainnya
seperti pemahaman tentang fungsi sadel, pemahaman tentang alat-alat sepeda, ingin punya sepeda dan
sebagainya. Jadi aspek perubahan
tingkah laku berhubungan erat dengan aspek lainnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan
bahwa belajar diartikan sebagai perolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan. Pengetahuan mutakhir
proses belajar diperoleh dari kajian pengolahan informasi, neurofisiologi, neuropsikologi
dan sain kognitif. Forrest W. Parkay dan
Beverly Hardeastle Stanford (1992)
menyebut belajar sebagai
kegiatan pemrosesan informasi, membuat penalaran, mengembangkan pemahaman dan meningkatkan penguasaan
keterampilan dalam proses
pembelajaran. Pembelajaran,
diartikan sebagai upaya
membuat individu belajar, yang dirumuskan Robert W. Gagne (1977) sebagai
pengaturan peristiwa yang ada di luar
diri seseorang peserta didik, dan dirancang serta dimanfaatkan untukmemudahkan proses
belajar. Pengaturan situasi pembelajaran
biasanya disebut management
of learning and conditions of learning.
Pembelajaran saat ini menekankan proses
membelajarkan bagaimana belajar (learning
how to learn), serta mengutamakan strategi mendorong dan melancarkan proses
belajar peserta didik. Kecenderungan lainnya adalah membantu peserta didik agar
berkecakapan mencari jawab
atas pertanyaan, bukan
lagi menyampaikan informasi langsung pada diri peserta didik. Dalam
persepsi guru, pembelajaran biasanya
dimaknai sebagai (a) berbagai pengetahuan bidang studi dengan peserta didik lain secara efektif dan efisien, (b) mencipta dan memelihara relasi antara pribadi
antara dosen dengan peserta didik serta mengembangkan kebutuhan
bertumbuh-kembang di bidang kehidupan yang dibutuhkan peserta didik, dan (c)
menerapkan kecakapan teknis dalam mengelola sekaligus sejumlah peserta didik yang
belajar.
B. TEORI
BELAJAR KOGNITIVISME
Teori Kognitivisme mengacu pada wacana
psikologi kognitif, dan berupaya menganalisis secara ilmiah proses mental dan struktur ingatan atau
cognition dalam aktifitas belajar. Cognition diartikan
sebagai aktifitas mengetahui, memperoleh,
mengorganisasikan, dan
menggunakan pengetahuan (Lefrancois, 1985). Tekanan utama psikologi
kognitif adalah struktur kognitif, yaitu perbendaharaan pengetahuan
pribadi individu yang
mencakup ingatan jangka panjang
(long-term memory).
Psikologi kognitif memandang
manusia sebagai makhluk yang selalu
aktif mencari dan menyeleksi informasi untuk diproses. Perhatian utama
psikologi kognitif adalah pada upaya memahami proses individu mencari,
menyeleksi,mengorganisasikan, dan menyimpan informasi.
Belajar kognitif berlangsung berdasar
skemata atau struktur mental individu yang mengorganisasikan hasil pengamatannya.
a.
Teori Perkembangan Kognitif
Teori ini dikemukakan oleh Jean Piaget, yang
memandang individu sebagai struktur kognitif, peta mental, skema atau jaringan
konsep guna memahami dan menanggapi
pengalamannya berinteraksi dengan
lingkungan.
Individu bereaksi pada lingkungan melalui
upaya mengasimilasikan berbagai informasi ke dalam struktur kognitifnya. Dalam proses asimilasi tersebut,
perilaku individu diperintah
struktur kognitifnya. Waktu mengakomodasi lingkungan, struktur kognitif diubah lingkungan. Asimilasi ditempuh
ketika individu menyatukan informasi baru ke
perbendaharaan informasi yang sudah dimiliki atau diketahuinya kemudian
menggantikannya dengan informasi terbaru. Individu mengorganisasikan makna
informasi itu ke dalam ingatan jangka panjang (long-term memory). Ingatan jangka
panjang yang terorganisasikan inilah yang diartikan sebagai struktur kognitif. Struktur kognitif berisi sejumlah coding yang
mengadung segi-segi intelek yang mengatur atau
memerintah perilaku individu; perubahan perilaku mendasari penetapan
tahap-tahap perkembangan kognitif. Tiap tahapan perkembangan menggambarkan isi struktur kognitif yang khas
sesuai perbedaan antar tahapan.
b.
Teori Kognisi Sosial
Teori ini dikembangkan oleh L.S. Vygotsky, yang didasari oleh pemikiran
bahwa budaya
berperan penting dalam
belajar seseorang. Budaya
adalah penentu perkembangan, tiap individu berkembang dalam konteks budaya,
sehingga proses belajar individu dipengaruhi
oleh lingkungan utama
budaya keluarga. Budaya lingkungan individu membelajarkannya
apa dan bagaimana berpikir. Konsep dasar teori ini diringkas sebagai berikut:
1) Budaya memberi sumbangan perkembangan intelektual individu melalui
2 cara, yaitu melalui (i) budaya dan (ii)
lingkungan budaya. Melalui budaya banyak isi pikiran (pengetahuan)
individu diperoleh seseorang, dan melalui lingkungan
budaya sarana adaptasi intelektual bagi individu berupa proses dan sarana berpikir bagi individu dapat tersedia.
2) Perkembangan kognitif dihasilkan dari proses dialektis (proses
percakapan) dengan cara berbagi pengalaman
belajar dan pemecahan masalah bersama orang
lain, terutama orangtua, guru, saudara sekandung dan teman sebaya.
3) Awalnya orang yang berinteraksi dengan individu memikul tanggung
jawab membimbing pemecahan masalah;
lambat-laun tanggung jawab itu diambil alih
sendiri oleh individu yang bersangkutan.
4) Bahasa adalah sarana primer interaksi orang
dewasa untuk menyalurkan sebagian
besar perbendaharaan pengetahuan yang hidup dalam budayanya.
5) Seraya bertumbuh kembang, bahasa individu
sendiri adalah sarana primer adaptasi intelektual; ia
berbahasa batiniah
(internal language) untuk mengendalikan perilaku.
6) Internalisasi merujuk pada proses belajar. Menginternalisasikan
pengetahuan dan alat berpikir adalah hal yang pertama kali hadir ke kehidupan
individu melalui bahasa.
7) Terjadi zone of proximal
development atau kesenjangan antara yang sanggup dilakukan individu sendiri dengan
yang dapat dilakukan dengan bantuan orang dewasa.
8) Karena apa yang dipelajari individu berasal
dari budaya dan banyak di antara pemecahan masalahanya ditopang
orang dewasa, maka
pendidikan hendaknya tidak berpusat pada individu dalam
isolasi dari budayanya.
9) Interaksi dengan budaya sekeliling dan
lembaga-lembaga sosial sebagaimana orangtua, saudara sekandung, individu dan
teman sebaya yang lebih cakap sangat memberi sumbangan secara nyata pada
perkembangan intelektual individu.
Konsep zone of proximal development merujuk pada zona yang mana
individu memerlukan bimbingan guna
melanjutkan belajarnya. Perlu identifikasi zona itu dan memastikan tuntutan
pembelajaran tidak melampaui atau lebih rendah dari kapasitas belajar
individu. Dalam pembelajaran ada scaffolding (contingent teaching), yaitu pendekatan pembelajaran yang bertitik tolak dari
pemahaman dan kecakapan peserta didik
saat ini. Pendekatan ini menghasilkan feedback segera serta memacu peserta
didik menguasai kecakapan pemecahan masalah secara mandiri.
c. Teori
Pemrosesan Informasi
Berdasarkan temuan riset linguistik,
psikologi, antropologi dan ilmu komputer, dikembangkan model
berpikir. Pusat kajiannya
pada proses belajar
dan menggambarkan cara individu memanipulasi
simbol dan memproses informasi. Model
belajar pemrosesan informasi
ini sering pula
disebut model kognitif information processing, karena dalam proses belajar ini tersedia tiga
taraf struktural sistem
informasi, yaitu:
1) Sensory atau intake register: informasi masuk
ke sistem melalui sensory register,
tetapi hanya disimpan untuk periode waktu terbatas. Agar tetap dalam sistem, informasi
masuk ke working
memory yang digabungkan dengan informasi di long-term memory.
2) Working memory: pengerjaan atau operasi
informasi berlangsung di working memory, dan di sini berlangsung berpikir yang
sadar. Kelemahan working memory sangat terbatas kapasitas isinya dan memperhatikan sejumlah
kecil informasi
secara serempak.
3) Long-term memory, yang secara potensial tidak
terbatas kapasitas isinya sehingga mampu menampung seluruh informasi
yang sudah dimiliki peserta didik.
Kelemahannya adalah betapa
sulit mengakses informasi
yang tersimpan di dalamnya.
Diasumsikan, ketika individu
belajar, di dalam
dirinya berlangsung proses kendali atau pemantau bekerjanya sistem
yang berupa prosedur strategi mengingat, untuk
menyimpan informasi ke dalam long-term memory (materi memory atau ingatan) dan strategi umum pemecahan masalah
(materi kreativitas).
C. TEORI
BELAJAR KONSTRUKTIVISME
Pada prinsipnya pengetahuan baru dikonstruksi
sendiri oleh peserta didik secara aktif berdasarkan
pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya. Pendekatan konstruktivisme dalam proses pembelajaran didasari
oleh kenyataan bahwa tiap individu
memiliki kemampuan untuk
mengkonstruksi kembali pengalaman
atau pengetahuan yang telah dimilikinya. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pembelajaran konstruktivisme merupakan satu
teknik pembelajaran yang melibatkan
peserta didik untuk membina sendiri secara aktif pengetahuan dengan menggunakan pengetahuan yang telah ada dalam diri
mereka masing-masing. Peserta didik akan mengaitkan materi pembelajaran baru
dengan materi pembelajaran lama yang
telah ada. Nik Azis Nik Pa (1999)
dalam Sharifah Maimunah (2001:8) menjelaskan
tentang konstruktivisme dalam belajar seperti dikutip berikut ini.
Konstruktivisme adalah tidak lebih daripada satu komitmen
terhadap pandangan bahawa manusia membina pengetahuan sendiri.
Ini bermakna bahawa sesuatu pengetahuan yang
dipunyai oleh seseorang individu adalah hasil daripada aktiviti yang dilakukan oleh individu tersebut, dan
bukan sesuatu maklumat atau pengajaran yang
diterima secara pasif daripada luar. Pengetahuan tidak boleh dipindahkan daripada pemikiran seseorang individu kepada
pemikiran individu yang lain. Sebaliknya, setiap insan membentuk
pengetahuan sendiri dengan menggunakan
pengalamannya secara terpilih.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa keaktifan
peserta didik menjadi syarat utama dalam pembelajaran
konstruktivisme. Peranan guru hanya sebagai
fasilitator atau pencipta kondisi belajar yang memungkinkan peserta didik secara aktif mencari sendiri
informasi, mengasimilasi dan mengadaptasi sendiri informasi, dan
mengkonstruksinya menjadi pengetahuan yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki masing-masing. Dengan kata
lain, dalam pembelajaran
konstruktivisme peserta didik memegang peran kunci dalam mencapai kesuksesan belajarnya, sedangkan guru
hanya berperan sebagai fasilitator.
Terjadinya
pergeseran peranan guru
dalam pembelajaran konstruktivisme tentunya membawa dampak tertentu, misalnya
guru merasa beban mengajarnya menjadi ringan karena
membiarkan peserta didik untuk belajar sendiri. Hal ini tidak perlu terjadi karena perspektif konstruktivisme
dalam pembelajaran di sekolah menitikberatkan pada pengalaman pendidikan yang
dirancang untuk membantu peserta didik menguasai ilmu pengetahuan. Peserta
didik didorong agar berperan serta secara
aktif dalam proses
pembelajaran, sedangkan guru
hanya akan memainkan peranan sebagai pembimbing atau
fasilitator dalam memperkembangkan pengetahuan
yang telah ada dalam diri peserta didik. Pelaksanaan pembelajaran menurut teori konstruktivisme dijelaskan Postman
& Weingartner (1969) seperti dikutip
berikut ini.
In class, try to avoid telling your students any answers
…. Do not prepare a lesson plan. Instead, confront your students with some sort
of problem which might interest them. Then, allow them to work the problem
through without your advice or counsel. Your talk should consist of questions
directed to particular students, based on remarks made by those students. If a
student asks you a question, tell him that you don't know the answer, even if
you do. Don't be frightened by the long stretches of silence that might occur.
Silence may mean that the students are thinking.
Kutipan
ini menekankan pentingnya peserta
didik didorong dan diberi
kesempatan untuk aktif dalam proses pembelajaran. Peserta didik
perlu diberi kesempatan
untuk bertanya, dan
diberi kesempatan untuk memecahkan masalah sendiri tanpa harus dibimbing atau diarahkan oleh
guru. Hal ini dimungkinkan karena hasil penelitian
psikologis membuktikan bahwa pada saat belajar di dalam diri individu
berlangsung proses mengkonstruksi pengetahuan baru yang sedang dihadapinya berdasarkan pengetahuan yang telah dimilikinya.
Terdapat
kekhususan pandangan tentang
belajar dalam teori
belajar konstruktivisme
apabila dibandingkan dengan
teori belajar behaviorisme
dan kognitivisme. Teori belajar behaviorisme lebih memperhatikan tingkah
laku yang teramati, dan teori
belajar kognitivisme lebih memperhatikan tingkah laku dalam memproses informasi atau pengetahuan yang
sedang dipelajari peserta didik tanpa mempertimbangkan pengetahuan atau informasi yang telah dikuasai
sebelumnya. Sedangkan teori belajar konstruktivisme
berangkat dari asumsi bahwa peserta didik memiliki kemampuan
untuk membangun pengetahuan
yang baru berdasarkan pengatahuan yang telah dikuasainya sebelumnya.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut
teori belajar konstruktivisme, pengertahuan
tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran peserta didik. Artinya, bahwa
peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang
dimilikinya. Dengan kata lain,
peserta didik tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan
berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan
kehendak guru. Sehubungan dengan hal tersebut, Tasker (1992:30) mengemukakan
tiga penekanan dalam
teori belajar
konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif peserta didik
dalam mengkonstruksi pengetahuan secara
bermakna. Kedua adalah pentingya membuat
kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian
secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi
baru yang diterima.
Wheatley (1991:12) mendukung pendapat di atas
dengan mengajukan dua prinsip utama dalam
pembelajaran dengan teori
belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan
tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif
peserta didik. Kedua,
fungsi kognisi bersifat
adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana
pentingnya keterlibatan anak secara
aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan
secara spesifik Hudoyo (1990:4)
mengatakan bahwa seseorang akan
lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari oleh
apa yang telah
diketahui orang lain.
Oleh karena itu,
untuk mempelajari suatu materi matematika yang baru, pengalaman belajar
yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Hanbury (1996:3) mengemukakan sejumlah
aspek dalam kaitannya
dengan pembelajaran mata pelajaran tertentu, yaitu (1)
peserta didik mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan cara
mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) materi pelajaran menjadi lebih bermakna karena peserta didik mengerti, (3) strategi peserta didik lebih bernilai,
dan (4) peserta didik mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan
temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori
belajar konstruktivisme, Tytler (1996:20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada
peserta didik untuk mengemukakan gagasannya
dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk berfikir tentang pengalamannya
sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif,
(3) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba
gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang
berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki
peserta didik, (5) mendorong
peserta didik untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif. Dari
beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu pada teori belajar konstruktivisme lebih
menfokuskan pada kesuksesan siswa
dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah
diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, peserta didik
lebih didorong untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan
mereka melalui kegiatan asimilasi dan akomodasi.
PENUTUP
Kajian konsep dasar belajar dalam Teori
Behaviorisme didasarkan pada pemikiran
bahwa belajar merupakan salah satu jenis
perilaku (behavior)
individu atau peserta didik yang dilakukan secara sadar. Individu
berperilaku apabila ada rangsangan (stimuli),
sehingga dapat dikatakan peserta didik di SD/MI akan belajar apabila menerima rangsangan dari guru. Semakin tepat dan intensif rangsangan yang diberikan oleh guru
akan semakin tepat dan intensif pula kegiatan belajar yang dilakukan peserta
didik. Dalam belajar tersebut kondisi
lingkungan berperan sebagai perangsang (stimulator) yang harus direspon individu dengan sejumlah konsekuensi
tertentu. Konsekuensi yang dihadapi peserta didik, ada yang bersifat
positif (misalnya perasaan puas, gembira, pujian, dan lain-lain
sejenisnya) tetapi ada pula yang bersifat negatif (misalnya perasaan gagal, sedih, teguran, dan lain-lain sejenisnya). Konsekuensi positif dan negatif tersebut
berfungsi sebagai penguat (reinforce) dalam
kegiatan belajar peserta didik.
Seringkali guru mengaplikasikan konsep belajar
menurut teori behaviorisme secara
tidak tepat, karena setiap kali peserta didik merespon secara tidak tepat atau tidak benar suatu
tugas, guru memarahi atau menghukum
peserta didik tersebut. Tindakan guru seperti ini (memarahi atau menghukum setiap kali peserta didik merespon
secara tidak tepat) dapat disebut
salah atau tidak profesional apabila hukuman (negative consequence) tidak difungsikan sebagai penguat atau reinforce.
Peserta didik seringkali melakukan perilaku
tertentu karena meniru apa yang
dilihatnya dilakukan orang lain di sekitarnya seperti saudara kandungnya, orangtuanya, teman sekolahnya, bahkan oleh gurunya. Oleh sebab itu
dapat dikatakan, apabila lingkungan sosial
di mana peserta didik berada sehari-hari merupakan lingkungan yang
mengkondisikan secara efektif memungkinkan suasana
belajar, maka peserta didik akan melakukan kegiatan atau perilaku belajar yang efektif.
Teori belajar kognitivisme mengacu pada wacana
psikologi kognitif, yang didasarkan
pada kegiatan kognitif dalam belajar. Para ahli teori belajar ini berupaya menganalisis secara ilmiah proses
mental dan struktur ingatan atau cognition
dalam aktifitas belajar. Cognition diartikan sebagai aktifitas mengetahui,
memperoleh, mengorganisasikan, dan menggunakan pengetahuan (Lefrancois, 1985). Tekanan utama psikologi
kognitif adalah struktur kognitif, yaitu
perbendaharaan pengetahuan pribadi individu yang mencakup ingatan jangka panjangnya (long-term memory). Psikologi
kognitif memandang manusia sebagai
makhluk yang selalu aktif mencari dan menyeleksi informasi untuk diproses. Perkatian utama psikologi kognitif adalah
upaya memahami proses individu
mencari, menyeleksi, mengorganisasikan, dan menyimpan informasi. Belajar kognitif berlangsung berdasar schemata atau
struktur mental individu yang
mengorganisasikan hasil pengamatannya.
Struktur mental individu tersebut berkembangan
sesuai dengan tingkatan perkembangan kognitif
seseorang. Semakin tinggi tingkat perkembangan kognitif
seseorang semakin tinggi pula kemampuan dan keterampilannya dalam memproses
berbagai informasi atau
pengetahuan yang diterimanya dari
lingkungan, baik lingkungan phisik maupun lingkungan sosial. Itulah
sebabnya, teori belajar kognitivisme dapat
disebut sebagai (1) teori perkembangan kognitif, (2) teori kognisi sosial, dan (3) teori pemrosesan informasi.
Proses pembelajaran yang mendidik adalah proses pembelajaran yang
dilaksanakan untuk membantu peserta didik
berkembang secara utuh, baik dalam dimensi kognitif maupun dalam dimensi afektif dan psikomotorik.
Sesuai dengan konsep kurikulum berbasis
kompetensi (KBK), pembelajaran yang mendidik diorientasikan ke penguasaan sejumlah kompetensi oleh peserta didik serta
didasarkan pada sejumlah kaidah ilmu kependidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Baihagi, MIF. 2008. Psikologi Pertumbuhan : Kepribadian Sehat
Untuk Mengembangkan Optimisme. Bandung : Rosda
Dale. H. Schunk. 2009. Learning Theories : An Educational Perpective. Fifth Edition.
Pearson International Edition.
Rumini, S.
dkk. 1993. Psikologi Pendidikan.
Yogyakarta: Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
Daniel Muijs & David
Reinolds. 2008. Effective Teaching: Teori dan Aplikasi. Terj:HP. Soejcipto. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar
Muhibbin
Syah. 2010. Psikologi Belajar dengan
Pendekatan Baru. Bandung: Rosda
Tim
Pengembangan MKDK-IKIP Semarang. 1989. Psikologi
Belajar. Semarang:
IKIP Semarang Press
IKIP Semarang Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar