Featured Article

Kamis, 15 Maret 2012

Buku : Algebra 1

Khusus untuk mahasiswa Pendidikan Matematika Universitas Flores, Buku ini dapat dipesan dengan mengirimkan nama ke email: geryssebo@yahoo.com

Jumat, 06 Januari 2012

MITOS MENYESATKAN TENTANG MATEMATIKA

BANYAK mitos menyesatkan mengenai matematika. Mitos-mitos salah ini memberi andil besar dalam membuat sebagian masyarakat merasa alergi bahkan tidak menyukai matematika. Akibatnya, mayoritas siswa kita mendapat nilai buruk untuk bidang studi ini, bukan lantaran tidak mampu, melainkan karena sejak awal sudah merasa alergi dan takut sehingga tidak pernah atau malas untuk mempelajari matematika. Meski banyak, namun ada lima mitos sesat yang sudah mengakar dan menciptakan persepsi negatif terhadap matematika.
Mitos pertama, matematika adalah ilmu yang sangat sukar sehingga hanya sedikit orang yang atau siswa dengan IQ minimal tertentu yang mampu memahaminya. Ini jelas menyesatkan. Meski bukan ilmu yang termudah, matematika sebenarnya merupakan ilmu yang relatif mudah jika dibandingkan dengan ilmu lainnya. Sebagai contoh, amati perbandingan soal untuk siswa kelas 6 sebuah SD swasta berikut ini. Soal pertama, “Sebutkan 3 tarian khas daerah Kalimantan Tengah.” Soal kedua, “ Sebuah lingkaran dibagi menjadi tiga buah juring dengan perbandingan masing-masing sudut pusatnya adalah 2 : 3 : 4, maka hitung besar masing-masing sudut pusat juring-juring tersebut“ .
Ternyata, persentase siswa yang menjawab benar soal kedua lebih besar dibandingkan persentase siswa yang menjawab benar soal pertama. Tanpa ingin mengundang perdebatan, contoh di atas menunjukkan, bahwa matematika bukanlah ilmu yang sangat sukar. Soal matematika terasa sulit bagi siswa-siswa kita karena mereka tidak memahami konsep bilangan dan konsep ukuran secara benar semasa di sekolah dasar. Jika konsep bilangan dan ukuran dikuasai, maka pekerjaan menganalisis dan menghitung menjadi hal yang mudah dan menyenangkan.
Mitos kedua, matematika adalah ilmu hafalan dari sekian banyak rumus. Mitos ini membuat siswa malas mempelajari matematika dan akhirnya tidak mengerti apa-apa tentang matematika. Padahal, sejatinya matematika bukanlah ilmu menghafal rumus, karena tanpa memahami konsep, rumus yang sudah dihafal tidak akan bermanfaat. Sebagai contoh, ada soal berikut, “Benny merakit sebuah mesin 6 jam lebih lama daripada Ahmad. Jika bersama-sama mereka dapat merakit sebuah mesin dalam waktu 4 jam, berapa lama waktu yang diperlukan oleh Ahmad untuk merakit sebuah mesin sendirian ?”.
Selengkapnya : kunjungi :pppptk matematika

TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL

a.        Probability Sampling
Teknik pengambilan sampel dengan memberi peluang yang sama untuk setiap unsur atau anggota populasi. Teknik ini sering jg disebut random sampling atau pengambilan sampel dengan cara acak. Lebih dapat diterima daripada nonprobability sampling. Menentukan probabilitas atau besarnya kemungkinan setiap unsur dijadikan sampel. Dalam merencanakan sampling probabilitas, idealnya peneliti telah memenuhi beberapa persyaratan berikut:
1) Diketahui besarnya populasi induk
2) Besarnya sampel yang diinginkan telah ditentukan
3)  Setiap unsur atau kelompok unsur harus memiliki peluang yang sama untuk dijadikan sampel
Probability sampling selalu melibatkan proses seleksi acak pada tahap tertentu, terdiri dari :
a.       Simple random sampling, adalah teknik pengambilan sampel yang dilakukan secara acak (random) sehingga setiap kasus atau elemen dalam populasi memiliki kesempatan yang sama besar untuk dipilih sebagai sampel penelitian. Syarat:
·         Anggota populasi dianggap homogen
·         Cara pengambilan sampel bisa melalui undian
·         Sampling ini memiliki bias terkecil dan generalisasi tinggi
·         Banyak digunakan dalam penelitian sains
Langkah-langkah Simple random sampling Pertama dilakukan adalah membuat kerangka sampel atau dikenal dengan “sampling frame” .  Daftar yang berisikan setiap elemen populasi yang bisa diambil sebagai sampel. Elemen populasi bisa berupa data tentang orang/binatang, tentang kejadian, tentang tempat, dan lain-lain.
Syarat penggunaan teknik sampling ini adalah, bahwa setiap elemen dari populasi harus dapat diidentifikasi. Selanjutnya, dari sampling frame tersebut dipilih sampel yang dilakukan secara acak hingga terpenuhi jumlah sampel yang dibutuhkan.
b.       Systematic Sampling
Susun sampling frame.  Peneliti menetapkan sampling interval (k) dengan menggunakan rumus N/n; dimana N adalah jumlah elemen dalam populasi dan n adalah jumlah sampel yang diperlukan. Peneliti memilih sampel pertama (s1)secara random dari sampling frame.
Peneliti memilih sampel kedua (S2), yaitu S1 + k.  selanjutnya, peneliti memilih sampel sampai diperoleh jumlah sampel yang dibutuhkan dengan menambah nilai interval (k) pada setiap sampel sebelumnya.
c.       Stratified Sampling
Sampling ini banyak digunakan untuk mempelajari karakteristik yang berbeda, keadaan populasi yang heterogen tidak akan terwakili, bila menggunakan teknik random. Karena hasilnya mungkin satu kelompok terlalu banyak yang terpilih menjadi sampel.
Peneliti membagi populasi kedalam beberapa sub populasi atau strata berdasarkan informasi yang didapat. Kedua, peneliti merumuskan sampling frame pada masing-masing subpopulasi atau strata.  Ketiga, peneliti memilih sampel pada masing-masing subpopulasi atau strata dengan menggunakan simple random atau systematic sampling. Dalam pemilihan sampel ini, proporsi jumlah sampel antar strata adalah sama dengan proporsi jumlah elemen antar strata.
d.       Cluster Sampling
Teknik sampling ini biasanya digunakan untuk menentukan sampel bila obyek yang akan diteliti atau sumber data sangat luas. Sampling ini mudah dan murah, tapi tidak efisien dalam hal ketepatan serta tidak umum. Digunakan jika objek yang akan diteliti sangat luas. Populasi biasanya dalam bentuk gugus atau kelompok-kelompok tertentu.  Anggota gugusJ/kelompok mungkin tidak homogen
b.      Non – Probability Sampling
Pemilihan sampel dengan cara ini tidak menghiraukan prinsip-prinsip probability. Pemilihan sampel tidak secara random. Hasil yang diharapkan hanya merupakan gambaran kasar tentang suatu keadaan. Nonprobability sampling: peluang anggota populasi tidak diketahui karena pengambilan sampel tidak dilakukan secara acak.Cara ini dipergunakan : Bila biaya sangat sedikit , hasilnya diminta segera,tidak memerlukan ketepatan yanq tingqi, karena hanya sekedar gambaran umum saja, terdiri dari 3 tipe yaitu:
1. Convenience Sampling
Sampel diambil berdasarkan faktor spontanitas, dengan kata lain sampel diambil/terpilih karena ada ditempat dan waktu yang tepat. Tanpa kriteria, peneliti bebas memilih siapa saja yang ditemuinya untuk dijadikan sampel. Ini digunakan ketika peneliti berhadapan dengan kondisi karakteristik elemen populasi yang tidak dapat diidentifikasikan dengan jelas. teknik penarikan sampel yang dilakukan karena alasan kemudahan atau kepraktisan menurut peneliti itu sendiri.  Dasar pertimbangannya adalah dapat dikumpulkan data dengan cepat dan murah, serta menyediakan bukti-bukti yang cukup melimpah.  Kelemahan utama teknik sampling ini yaitu kemampuan generalisasi yang amat rendah atau keterhandalan data yang diperoleh diragukan.
2.  Purposive Sampling
Peneliti menggunakan expert judgement untuk memilih kasus2 yang “representatif” atau “tipikal” dari populasi. Pertama, identifikasi sumber2 variasi yang penting dari populasi. Berikutnya memilih kasus2 sesuai sumber2 variasi tersebut. Bisa dipilih satu kasus atau satu subpopulasi yang dianggap “representatif” atau “tipikal” yang memiliki karakteristik tertentu. Atau memilih beberapa kasus yang mewakili perbedaan2 utama dalam populasi  Secara umum lebih “kuat” dibandingkan convenience sampling tapi sangat tergantung expert judgement-nya peneliti. Kelemahan utama: informed selection seperti itu memerlukan pengetahuan yang cukup mengenai populasi.
3. Quota Sampling
Quota sampling adalah sejenis purposive sampling yang ada kemiripan dengan stratified random sampling. Populasi dibagi-bagi menjadi strata yang relevan seperti usia, jenis kelamin, lokasi, dsb.   Proporsi tiap strata diperkirakan atau ditentukan berdasarkan data eksternal kemudian total sampel dibagi-bagi sesuai proporsi ke tiap strata (kuota). Untuk memenuhi jumlah sampel untuk tiap strata, peneliti menggunakan expert judgement-nya. Bedanya dengan stratified random sampling, sampel diambil secara acak sedangkan dalam quota sampling, sampelnya dipilih berdasarkan pendapat subjektif peneliti pokoknya kuotanya terpenuhi (mirip convenience sampling).
EFEK SAMPEL DALAM PENELITIAN
Prosedur pengambilan sampling akan memiliki dampak pada hasil penelitian. Ukuran sampel atau besarnya sampel yang diambil dari populasi, merupakan salah satu faktor penentu tingkat kerepresentatifan sampel yang digunakan. Efek sampel penelitian yakni;
a)      Sample Size
          Kebanyakan untuk menentukan ukuran sampel menggunakan rumus
            n=N/1+ne^2
Dimana : n = ukuran sampel yang dibutuhkan, N = jumlah populasi,  e=margin error yang diperkenankan (5% atau 10%)
b)      Subject Motivation
Sejauh mana subjek termotivasi untuk merespon dengan cara tertentu dapat memiliki efek yang substansial.  Karakteristik khusus dari sampel dapat mempengaruhi mereka untuk merespon dalam cara tertentu (misalnya, hanya guru memilih menggunakan strategi bahasa holistik kemungkinan akan mempengaruhi mereka untuk merespon baik untuk skala sikap berfokus pada pengajaran bahasa holistik)
c)      Sampling Bias
kesalahan Sampling yang dikendalikan atau dipengaruhi oleh peneliti untuk menghasilkan menyesatkan disebabkan oleh peneliti.
d)      Volunteer samples
Karakteristik yang berbeda antara relawan dan non-relawan dapat menyebabkan respon yang berbeda.
Sumber :
McMillan, J.H., & Schumacher , S. (2010). Research in Education: Evidance-based Inquiry. New Jersey : Pearson Education.
Creswell, J.W. (2009). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California : SAGE Publications.
Prof. Dr. Suharsimi Arikunto. (2010). Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta.

Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

a. Hakekat Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar

Belajar matematikan merupakan tentang konsep-konsep dan struktur abstrak yang terdapat dalam matematika serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur matematika. Belajar matematika harus melalui proses yang bertahan dari konsep yang sederhana ke konsep yang lebih kompleks. Setiap konsep matematika dapat dipahami dengan baik jika pertama-tama disajikan dalam bentuk konkrit. Russeffendi (1992) mengungkapkan bahwa alat peraga adalah alat untuk menerangkan/ mewujudkan konsep matematika sehingga materi pelajaran yang disajikan mudah dipahami oleh siswa.
Salah satu dari Standar Kompetensi Lulusan SD pada mata pelajaran matematika yaitu, memahami konsep bilangan pecahan, perbandingan dalam pemecahan masalah, serta penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari Depdiknas 2006. Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa pemahaman guru tentang hakekat pembelajaran matematika di SD dapat merancang pelaksanaan proses pembelajaran dengan baik yang sesuai dengan perkembanagan kognitif siswa, penggunaan media, metode dan pendekatan yang sesuai pula. Sehingga guru dapat menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif serta terselenggaranya kegiatan pembelajaran yang efektif.

Kamis, 05 Januari 2012

Hakikat Matematika

Untuk menjawab pertanyaan “Apakah matematika itu ?” tidak dapat dengan mudah dijawab. Hal ini dikarenakan sampai saat ini belum ada kepastian mengenai pengertian matematika karena pengetahuan  dan  pandangan  masing-masing  dari  para  ahli  yang  berbeda-beda.  Ada  yang mengatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang bilangan dan ruang, matematika merupakan bahasa simbol, matematika adalah bahasa numerik, matematika adalah ilmu yang abstrak dan deduktif, matematika adalah metode berpikir logis, matematika adalah ilmu yang mempelajari hubungan pola, bentuk dan struktur, matematika adalah ratunya ilmu dan juga menjadi pelayan ilmu yang lain.
Kata matematika berasal dari perkataan Latin mathematika yang mulanya diambil dari  perkataan Yunani mathematike yang berarti mempelajari. Perkataan itu mempunyai asal katanya mathema  yang  berarti  pengetahuan  atau  ilmu (knowledge,  science).  Kata  mathematike berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathein atau mathenein yang artinya belajar (berpikir). Jadi, berdasarkan asal katanya, maka perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir (bernalar). Matematika lebih menekankan kegiatan dalam dunia rasio(penalaran), bukan menekankan dari hasil eksperimen atau hasil observasi matematika terbentuk karena pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan idea, proses, dan penalaran (Russeffendi ET, 1980 :148).
Matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam dunianya secara empiris. Kemudian pengalaman itu diproses di dalam dunia rasio, diolah secara analisis dengan penalaran di dalam struktur kognitif sehingga sampai terbentuk konsep-konsep matematika supaya konsep-konsep matematika yang terbentuk itu mudah dipahami oleh orang lain dan dapat dimanipulasi secara tepat,  maka  digunakan  bahasa  matematika  atua  notasi  matematika  yang  bernilai  global (universal). Konsep matematika didapat karena proses berpikir, karena itu logika adalah dasar terbentuknya matematika.
Beberapa Definisi Para Ahli Mengenai Matematika antara lain :
1.       Russefendi (1988 : 23)
Matematika terorganisasikan dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan, definisi-definisi, aksioma-aksioma,  dan  dalil-dalil  di  mana  dalil-dalil  setelah  dibuktikan  kebenarannya berlaku secara umum, karena itulah matematika sering disebut ilmu deduktif.
2.       James dan James (1976).
Matematika adalah ilmu tentang logika, mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsepkonsep yang berhubungan satu dengan lainnya. Matematika terbagi dalam tiga bagian besar yaitu  aljabar,  analisis  dan  geometri.  Tetapi  ada  pendapat  yang  mengatakan  bahwa matematika terbagi menjadi empat bagian yaitu aritmatika, aljabar, geometris dan analisis dengan aritmatika mencakup teori bilangan dan statistika.
3.       Johnson dan Rising dalam Russefendi (1972)
Matematika   adalah   pola   berpikir,   pola   mengorganisasikan,pembuktian   yang   logis, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat , jelas dan akurat representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi. Matematika adalah pengetahuan struktur yang terorganisasi, sifat-sifat dalam teori-teori dibuat secara deduktif berdasarkan kepada unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori yang telah dibuktikan kebenarannya adalah ilmu tentang keteraturan pola atau ide, dan matematika itu adalah suatu seni, keindahannya terdapat pada keterurutan dan keharmonisannya.
4.       Reys - dkk (1984)
Matematika adalah telaahan tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat.
5.       Kline (1973)
Matematika itu bukan pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam.
Matematika dikenal sebagai ilmu deduktif, karena proses mencari kebenaran (generalisasi) dalam matematika berbeda dengan ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan yang lain. Metode pencarian kebenaran yang dipakai adalah metode deduktif, tidak dapat dengan cara induktif. Pada ilmu pengetahuan alam adalah metode induktif dan eksperimen.
Walaupun dalam matematika mencari kebenaran itu dapat dimulai dengan cara induktif, tetapi seterusnya generalisasi yang benar untuk semua keadaan harus dapat dibuktikan dengan cara deduktif. Dalam matematika suatu generalisasi dari sifat, teori atau dalil itu dapat diterima kebenarannya sesudah dibuktikan secara deduktif. 
Contoh dalam ilmu fisika, bila seorang melakukan percobaan (eksperimen) sebatang logam dipanaskan maka memuai dan dilanjutkan dengan logam-logam yang lainnya, dipanaskan ternyata memuai juga, maka  ia dapat membuat kesimpulan (generalisasi) bahwa setiap logam yang dipanaskan itu dapat memuai. Generalisasi yang dibuat secara induktif tersebut dalam ilmu fisika dapat dibenarkan contoh dalam ilmu fisika di atas , pada matematika contoh-contoh seperti itu baru dianggap sebagai generalisasi jika kebenarannya dapat dibuktikan secara deduktif. 
Pada  pembelajaran  matematika  di  SD  pembuktian  dengan  cara  deduktif  masih  sulit dilaksanakan. Karena itu siswa SD hanya melakukan eksperimen (metode induktif). Percobaan-percobaan inipun masih menggunakan benda-benda konkrit (nyata). Untuk pembuktian deduktif masih  sulit  dilaksanakan  karena  pembuktian  deduktif  lebih  abstrak  dan  menuntut  siswa mempunyai  pengetahuan-pengetahuan  siswa  yang  sebelumnya.  
 Matematika merupakan ilmu terstruktur yang terorganisasikan. Hal ini karena matematika  dimulai dari unsur yang tidak didefinisikan, kemudian unsur yang didefinisikan ke aksioma /  postulat  dan akhirnya  pada  teorema.  Konsep-konsep  amtematika  tersusun secara  hierarkis,  terstruktur, logis, dan sistimatis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep  yang paling kompleks. Oleh karena itu untuk mempelajari matematika, konsep sebelumnya yang  menjadi  prasyarat,  harus  benar-benar  dikuasai  agar  dapat  memahami  topik  atau  konsep selanjutnya.
Dalam  pembelajaran  matematika  guru  seharusnya  menyiapkan  kondisi  siswanya  agar mampu menguasai konsep-konsep yang akan dipelajari mulai dari yang sederhana sampai yang lebih kompleks. Contoh seorang siswa yang akan mempelajari sebuah volume kerucut haruslah mempelajari  mulai dari lingkaran, luas lingkaran, bangun ruang dan akhirnya volume kerucut. Untuk dapat  mempelajari topik volume balok, maka siswa harus mempelajari rusuk / garis, titik sudut, sudut,  bidang datar persegi dan persegi panjang, luas persegi dan persegi panjang, dan akhirnya volume  balok. Struktur matematika adalah sebagai berikut :
a.       Unsur-unsur yang tidak didefinisikan
Misal : titik, garis, lengkungan, bidang, bilangan dll.  Unsur-unsur ini ada, tetapi kita tidak dapat mendefinisikannya.
 b.      Unsur-unsur yang didefinisikan
Dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan maka terbentuk unsur-unsur yang didefinisikan. Misal : sudut, persegi panjang, segitiga, balok, lengkungan tertutup sederhana,   bilangan  ganjil, pecahan desimal, FPB dan KPK dll.
c.       Aksioma dan postulat
Dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan dan unsur-unsur yang didefinisikan dapat dibuat asumsi-asumsi yang dikenal dengan aksioma atau postulat.
Misal : ~  Melalui 2 titik sembarang hanya dapat dibuat sebuah garis.  ~  Semua sudut siku-siku satu dengan lainnya sama besar.  ~  Melalui sebuah titik hanya dapat dibuat sebuah garis yang tegak lurus ke sebuah garis yang lain.  ~  Sebuah segitiga tumpul hanya mempunyai sebuah sudut yang lebih besar dari 900.  Aksioma tidak perlu dibuktikan kebenarannya tetapi dapat diterima kebenarannya berdasarkan pemikiran yang logis.
d.      Dalil atau Teorema
Dari unsur-unsur yangtidak didefinisikan dan aksioma maka disusun teorema-teorema atau dalil-dalil yang kebenarannya harus dibuktikan dengan cara deduktif.  Misal : ~ Jumlah 2 bilangan ganjil adalah genap ~ Jumlah ketiga sudut pada sebuah segitiga sama dengan 1800 ~ Jumlah kuadrat sisi siku-siku pada sebuah segitiga siku-siku sama dengan Kuadrat sisi miringnya.
Matematika  disebut sebagai  ilmu tentang  pola karena  pada matematika sering dicari keseragaman seperti keterurutan, keterkaitan pola dari sekumpulan konsep-konsep tertentu atau model yang merupkan representasinya untuk membuat generalisasi.
Misal : Jumlah a bilangan genap selamanya sama dengan a2. Contoh :  a = 1    maka jumlahnya =  1 =  12.  Selanjutnya 1 dan 3 adalah bilangan-bilangan ganjil jumlahnya adalah 4 = 22. Berikutnya 1, 3, 5, dan 7, maka jumlahnya adalah 16 = 42 dan seterusnya.  Dari contoh-contoh tersebut, maka dapat dibuat generalisasi yang berupa pola yaitu jumlah a bilangan ganjil yang berurutan sama dengan a2.
Matematika disebut ilmu tentang hubungan karena konsep matematika satu dengan lainnya saling berhubungan.  Misalnya : Antara persegi panjang dengan balok, antara persegi dengan kubus, antara kerucut dengan lingkaran, antara 5 x 6 = 30 dengan 30 : 5 = 6. Antara 102 = 100 dengan 100  = 10.  Demikian juga cabang matematika satu dengan lainnya saling berhubungan seperti aritmatika, aljabar, geometri dan statistika, dan analisis.
Matematika yang terdiri dari simbol-simbol yang sangat padat arti dan bersifat internasional. Padat arti berarti simbol-simbol matematika ditulis dengan cara singkat tetapi mempunyai arti
yang luas. Misal :   
9 = 3 ,  3 + 5 = 8,         3 ! = 1 x 2 x 3. log 100 = 2
Matematika sebagai ratu ilmu artinya matematika sebagai alat dan pelayan ilmu yang lain.

BEBERAPA TEORI BELAJAR


PENDAHULUAN
Pandangan orang tentang belajar terutama pemahaman tentang individu telah berkembang dari masa ke masa. Salah satu kaidah ilmu kependidikan yang dijadikan dasar pengelolaan proses pembelajaran yang mendidik adalah teori belajar yang telah dikembangkan oleh para ahli psikologi dan ilmu pendidikan. Para ahli Psikologi menghasikan teori belajar hanya untuk menyelesaikan masalah pada masa dimana ia hidup. Namun urgensi teori dapat dipakai untuk permasalahan yang cocok di masa-masa yang lain. Beberapa teori belajar dapat saling melengkapi untuk suatu masalah, maupun masing-masing dapat menyelesaikan masalah pembelajaran yang berbeda.
. Teori belajar yang banyak mempengaruhi pemikiran tentang proses pembelajaran dan pendidikan adalah teori belajar Behaviorisme, Kognitivisme, Konstruktivisme, dan Humanisme. Masing-masing teori belajar tersebut memiliki sudut pandang yang khas dalam menjelaskan pengertian dan hakikat  belajar dan pembelajaran, akan tetapi semuanya saling melengkapi dan memiliki dampak pedagogis yang relatif sama.
Oleh  karena  proses  belajar  merupakan  kegiatan  yang  melibatkan  keseluruhan potensi psikis dan phisik peserta didik, maka pembelajaran yang mendidik harus berpusat pada peserta didik sesuai dengan karakteristik masing-masing. Keaktifan peserta didik harus diutamakan dalam proses pembelajaran. Peserta didik perlu didorong untuk memiliki keberanian untuk mengemukakan pendapat, karena pada prinsipnya peserta didik mempunyai kemampuan. Setiap manusia memiliki kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan, penerimaan, pengagungan, dan cinta dari orang lain. Dalam proses pembelajaran, kebutuhan-kebutuhan tersebut perlu diperhatikan agar peserta didik tidak merasa dikecewakan.
Karena penulis telah mendapat tugas untuk membahas Teori Belajar Humanisme maka dalam makalah ini akan ditelaah 3 teori belajar selain humanisme yaitu Teori Belajar Behaviorisme, Kognitivisme dan Konstruktivisme.
BEBERAPA TEORI BELAJAR
A.  TEORI BELAJAR BEHAVIORISME
a.      Teori Belajar Respondent Conditioning
Teori belajar Respondent Conditioning (pengkondisian respon) diperkenalkan oleh Pavlov, yang didasarkan pada pemikiran bahwa perilaku atau tingkah laku merupakan respon yang dapat diamati dan diramalkan Guy R. Lefrancois (1985)  mempengaruhi individu  dan membawanya ke  arah perilaku (respon)  yang diharapkan. Keterpakuannya pada perilaku yang aktual dan yang dapat diamati atau terukur itu yang menyebabkan teori ini digolongkan ke dalam teori behaviorisme.
Fisiolog Pavlov (1849-1936) mengkaji stimuli (rangsangan tak bersyarat) yang secara spontan memanggil respon. Stimuli di lingkungan misalnya sorotan lampu memancing respon refleks. Respon, berupa refleks yang terpancing stimuli, disebut responden. Responden (respon tak bersyarat) muncul di luar kendali kemauan bebas seseorang. Hubungan rangsangan bersyarat dengan respon itu spontan, bukan hasil belajar. Namun perilaku refleks dapat muncul sebagai respon atas stimuli yang sebenarnya tidak otomatis memancing respon. Melalui conditioning, stimuli netral (netral spontan) memancing refleks namun sengaja dibuat agar mampu memancing respon refleks. Bila satu stimuli menghasilkan respon, maka stimuli kedua yang tidak relevan dihadirkan serempak dengan stimuli pertama, dan akhirnya respon tadi muncul tanpa perlu menghadirkan stimuli pertama.
Contohnya adalah, apabila lampu  disorotkan ke mata, pupil mata menyempit. Jika lonceng dibunyikan tiap kali lampu  disorotkan ke mata, bunyi lonceng saja membuat pupil mata menyempit. Pebelajar  terkondisi oleh bunyi lonceng. Pengkondisian melemah kemudian sirna, jika secara  berulang individu mendengar lonceng tanpa sorotan lampu. Setelah stimuli netral (bunyi lonceng berulang-ulang) dipasangkan pada stimuli efektif (sorot lampu),  maka stimuli netral akan membuahkan respon yang sama dengan yang dimunculkan oleh stimuli efektif.  Implikasi kependidikan dari teori belajar respondent conditioning ini dibuktikan lewat penelitian C. Joan Early (1968)  dimana peserta didik kelas 4 SD disurvei dengan menggunakan sosiometri.  Survei ini bermaksud mengidentifikasi peserta didik yang terasing dalam pergaulannya di kelas. Berdasarkan sosiogram, peserta didik yang terisolir diperlakukan sebagai kelompok eksperimen, sedangkan peserta didik yang tidak terisolir diperlakukan sebagai kelompok kontrol. Kedua kelompok peserta didik diberi tugas mempelajari sejumlah kalimat yang bernada positif dan kalimat yang bernada netral. Selanjutnya masing-masing kelompok diminta bermain secara bebas dengan tugas memasangkan nama dirinya dengan kalimat tertentu. Kelompok eksperimen (peserta didik yang terisolir) diminta memasangkan nama dirinya dengan kalimat bernada positif seperti teman yang sangat menyenangkan” atau “teman yang periang”. Sedangkan kelompok kontrol (peserta didik yang tidak terisolir) diminta memasangkan nama dirinya dengan kalimat bernada netral seperti “teman yang biasa saja” atau “teman yang tidak istimewa”.
Selama permainan guru melakukan pengamatan perilaku peserta didik pada  situasi  bermain  bebas  tersebut. Hasil analisis data  pengamatan menunjukkan ada kecenderungan peserta didik lebih mendekati peserta didik terisolir di kelompok eksperimental dibandingkan dengan kelompok kontrol. Setelah  permainan  selesai  dilakukan  lagi  pengukuran  sosiometri,  dan sosiogramnya menunjukkan bahwa peserta didik kelompok eksperimental (peserta didik yang terisolir) lebih diterima atau disukai oleh temannya daripada peserta didik kelompok kontrol (peserta didik yang tidak terisolir). Hal ini berarti, peserta didik di kelompok eksperimen tidak lagi terisolir dari  temannya setelah dikondisikan melalui permainan bebas tersebut.
Eksperimen di atas menunjukkan bahwa peserta didik belajar tentang sikap positif dan  prasangka  buruk.  Proses  belajar tentang prasangka buruk lewat kegiatan mengasosiasikan kualitas pribadi negatif pada kelompok sebaya, tetapi mereka juga belajar membentuk sikap positif dan kooperatif lewat bermain bersama seraya mengasosiasikan kualitas pribadi perseorangan dan kelompok.
Contoh  lain  penerapan  teori  belajar  respondent  conditioning  adalah  yang dilakukan pula oleh J. Wolpe (1958) untuk menangani reaksi cemas melalui kegiatan penurunan  kepekaan  secara  sistematis (systematic  disensitization).  Stimuli  di lingkungan yang memicu reaksi cemas, diubah lewat kegiatan mengkondisikan respon pengganti rangsangan yang tidak selaras dengan respon cemas. Prosedur ini menggunakan respon relaksasi otot. Isyarat pemicu cemas dipasangkan dengan respon relaksasi. Individu diminta bersikap relaks dan membayangkan pemandangan berisyarat pemicu cemas ringan. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa pada waktu bersantai, cemas ringan dihambat oleh sikap santai itu. Secara bertahap, seraya bersantai dipasangkan isyarat pencetus cemas ringan, isyarat pemicu cemas makin dinaikkan kadarnya, dibayangkan tanpa ada respon sama sekali atau ada respon tetapi   kecil  saja. Relaksasi berasosiasi   dengan   hirarki   pemandangan   yang dibayangkan. Akhirnya kemampuan stimuli membangkitkan kecemasan menjadi lenyap. Pengubahan perilaku respondent conditioning seperti dicontohkan di atas, dapat pula digunakan untuk membantu peserta didik yang mengalami masalah suka makan berlebihan, peminum alkohol atau penyimpangan perilaku seksual.
b.      Teori Belajar Operant Conditioning
B.F. Skinner sebagai tokoh teori belajar Operant Conditioning berpendapat bahwa belajar menghasilkan perubahan perilaku yang dapat diamati, sedang perilaku dan belajar diubah oleh kondisi lingkungan. Teori Skinner (1954) sering disebut Operant Conditioning   yang   berunsur rangsangan, respon, dan konsekuensi. Stimuli (tanda/syarat) bertindak sebagai pemancing respon, sedangkan konsekuensi tanggapan  dapat  bersifat positif atau  negatif,  namun  keduanya memperkukuh atau memperkuat (reinforcement).
Perbandingan  antara teori belajar Classical Conditioning  dan  teori  belajar Operant Conditioning dikemukakan   oleh  Skinner  dan  Lefrancois. Skinner menyebutkan bahwa banyak respon yang tidak hanya dipancing stimuli tetapi dapat dikondisikan pada stimuli lain. Respon ini adalah kategori perilaku pertama, disebut respondent behavior karena perilaku muncul sebagai respon atas stimuli. Selanjutnya dapat muncul kategori perilaku ke dua (perilaku yang tidak dipancing stimuli), yang disebut operant behavior sebab telah dikerjakan pebelajar. Sedangkan Guy R. Lefrancois (1985) memilah perbedaan antara keduanya sebagai berikut.
Respondent Conditioning (Pavlov)
Operant Conditioning (Skinner)
Peserta didik disebut respondents, yang dipancing reaksinya atas lingkungan (contoh: marah atau tertawa), menjawab 2 setelah guru bertanya jumlah saudara kandungnya (reaksi otomatis atas situasi spesifik).
Peserta didik disebut operants, yang dipancing aksi
intrumentalnya pada lingkungan (contoh: menyanyi, menulis surat, mencium bayi, membaca buku) sebagai tindakan spontan, kendali dari diri sendiri

Model perilaku belajar yang digambarkan di atas menunjukkan bahwa hadiah (reward) hadir beriringan dengan situasi atau stimuli yang membedakannya dari situasi lainnya, pada saat diberi penguatan. Penguatan ini berfungsi sebagai stimuli yang memunculkan perilaku operant (seusai belajar berlangsung). Ketika perilaku operant diperkukuh, peluang munculnya perilaku seperti ini di masa mendatang akan semakin meningkat.  Contoh penerapan operant learning di kelas adalah sebagai digambarkan berikut ini.

Stimuli
Operant Response
Konsekuensi
implikasi
Guru
bertanya
Peserta didik
menjawab
Dijawab benar, guru berkata:bagus(reinforcement)
Peserta didik terdorong menjawab
Guru menjelaskan
Peserta didik saling
mengobrol dengan teman
Guru mengurangi jam
istirahat selama 10 menit sebagai hukuman (punishment)
Peserta didik terdorong untuk tidak
mengobrol dengan teman
Materi pelajaran diujikan
Peserta didik mempelajari bahan berulang kali
Peserta didik mendapat nilai baik
Peserta didik terdorong untuk belajar dengan cara yang sama

Tidak seluruh situasi ditangani atau direspon pebelajar walaupun ada peluang terjadinya  operant  learning,  karena  dalam  diri  pebelajar  terjadi  generalisasi, diferensiasi, atau diskriminasi. Generalisasi adalah pola merespon yang dilakukan individu terhadap lingkungan atau stimuli serupa, sedangan diferensiasi adalah pola merespon individu dengan cara mengekang diri untuk tidak merespon karena ada perbedaan antar dua situasi serupa meski tidak sama, yang sebenarnya sesuai direspon. Menggeneralisasi   berarti   merespons   situasi   serupa,   sedangkan mendeferensiasi berarti merespon dengan cara membedakan antara situasi saat dua respon identik yang tidak sesuai dimunculkan. Misalnya, bayi belajar sejak awal bahwa jika ia menangis, ia diperhatikan ibu. Oleh sang ibu, perilaku bayi ini segera digeneralisasi dari situasi spesifik ‘ketika diperhatikan ibu’ ke situasi baru ‘waktu si bayi menginginkan’. Ibu bijak mendorong belajar diskriminasi pada bayi dengan sekedar tidak memperhatikanya pada situasi tertentu, misalnya ketika ibu sedang tidak mau diganggu. Waktu menerima telpon, ibu mengabaikan bayi yang merajuk. Bayi  segera  belajar  mendiskriminasikan  situasi  di  mana  perilaku  pemancing perhatian  tidak  diperkukuh  dengan  situasi  serupa  yang  cenderung  diperkukuh (reinforced).
Penerapan operant conditioning dalam pendidikan dikemukakan oleh Fred Keller (1968) dengan judul kegiatan self-paced learning. Guru merancang mata pelajaran yang dilengkapi bahan bacaan untuk dikaji pebelajar. Ketika pebelajar merasa siap diuji, ia menempuh tes agar lulus pada penggalan belajar yang telah ditempuhnya. Jika lulus, ia maju ke panggalan belajar berikutnya. Jadi pebelajar sendiri yang menetapkan kecepatan dan jangka waktu belajarnya. Penerapan lainnya adalah berupa  metode  pengubahan  perilaku.  Beberapa  pakar  pendidikan  memandang masalah emosi individu yang terjadi karena lingkungan terbentuk dalam rangkaian kontingensi  yang salah. Artinya perilaku negatif terlanjur terjadi karena diberi penguatan. Individu berperilaku suka mengganggu karena ia mendapat penguatan, baik atas hasil kenakalan maupun atas kekaguman teman sebanyanya. Prosedur pengubahan  perilaku  dilakukan  melalui  penggantian  perilaku  mengganggu  itu dengan perilaku yang disetujui guru.
c.Teori Observational Learning (Belajar Pengamatan) atau Socio-Cognitive Learning (Belajar Sosio-Kognitif)
Proses belajar yang berhubungan dengan peniruan disebut belajar observasi (observational  learning).  Albert  Bandura (1969)  menjelaskan  bahwa  berlajar  observasi merupakan sarana dasar untuk memperoleh perilaku baru atau mengubah pola perilaku yang sudah dikuasai. Belajar observasi biasa juga disebut belajar sosial (social learning) karena yang menjadi obyek observasi pada umumnya perilaku belajar orang lain. Belajar sosial mencakup belajar berperilaku yang diterima dan diharapkan publik agar dikuasai individu. Di dalam belajar sosial, berlangsung proses belajar berperilaku yang tidak diterima publik. Perilaku yang diterima secara sosial itu bervariasi sesuai budaya, sub-budaya dan golongan masyarakat.
Masyarakat menghendaki setiap orang mampu menempatkan diri sesuai usia, kedudukan, pendidikan dan jenis kelamin dalam konteks relasi antar pribadi. Hal ini berkenaan dengan penyikapan diri di hadapan orang lain. seakrab apapun sikap guru, peserta didik menahan diri untuk berperilaku polos, dan bebas pada gurunya. Paling tidak ada rasa segan yang membatasi peserta didik, dan guru bersikap apa adanya dalam pergaulan mereka. Pada masyarakat demokratis perilaku sosial seseorang diselaraskan dengan peran yang dipikul. Hal ini berkaitan dengan harapan sosial agar orang berperilaku sesuai dengan peran sosial. Pergaulan sosial yang selaras antara lawan jenis kelamin sangat tergantung pada pola berperilaku yang dipandang sesuai dengan budaya yang berlaku di masyarakat, tetapi masih terdapat perbedaan pada kelompok usia dan karakteristik individual seseorang.
Diterima atau tidak diterimanya perilaku sosial ditentukan oleh situasi dan tempat. Perilaku di tempat pekerjaan tentu lebih formal. Seorang atasan dikunjungi stafnya di rumah akan memperlakukan stafnya sebagai seorang tamu yang harus lebih dihargai karena posisi sebagai tamu itu. Contoh ini menunjukkan bahwa social learning mengkaji rangkaian perilaku yang dapat diterima secara sosial dalam kondisi apa saja.  Belajar meniru disebut belajar observasi (observation learning), yang meliputi aktifitas menguasai respon baru atau mengubah respon lama sebagai hasil dari mengamati perilaku model.
Albert  Bandura    (1969) mengartikan belajar  sosial  sebagai aktifitas meniru melalui pengamatan (observasi). Individu yang perilakunya ditiru menjadi model pebelajar yang meniru. Istilah modeling digunakan untuk menggambarkan proses belajar sosial. Model ini merujuk pada seseorang yang berperilaku sebagai stimuli bagi respon pebelajar. Konsep dan prinsip peniruan dalam belajar sosial dapat dijelaskan sebagai berikut.
1)   Model yang ditiru para peserta didik dapat berupa (a) real-life model atau model kehidupan nyata; (b) symbolic-model yang disajikan secara simbolis lewat pembelajaran lisan, tertulis, peraga dan kombinasi dan gambar; dan (c) representative model yang penayangannya  lewat  televisi  dan  video.  Dalam  proses  pembelajaran  di sekolah, yang diperlukan peserta didik adalah exemplary-model (keteladanan) yang mendemonstrasikan perilaku prososial atau perilaku yang diinginkan. Misalnya seorang ibu guru mengatakan kepada peserta didiknya: “Mengapa kita tidak meneladani perilaku ibu Theresa?” Segi pembelajaran sosialisasi ini kritis karena kebanyakan perilaku yang tersosialisasikan, termasuk di dalamnya perilaku antisosial dan perilaku menyimpang dipelajari melalui meniru model. 
2)   Belajar sosial melalui peniruan dapat memberi penguasaan perilaku awal itu bersifat kontiguitas (kerapatan moment amat dekat dengan kejadian yang  diamati), yaitu rentetan perilaku yang dilihat atau didengar individu lewat pancaindera. Daya perilaku yang dikuasai sekedar melalui pengamatan itu tergantung  pada  penguatan.  Teori  ini  biasa  juga  disebut  teori  modeling kontiguitas, yang pada prinsipnya mengkondisikan peserta didik belajar sebaikbaiknya di depan model pada waktu dan ruang yang tepat. Penguatan melalui insentif (hadiah) inilah yang membuat individu belajar, apakah itu sebagai selfreinforcement ataupun sebagai external-reinforcement.
3)   Faktor yang mempengaruhi perilaku meniru adalah (a) konsekuensi respon
 model pada individu dalam kerangka hadiah dan hukuman; meniru dimudahkan ketika  model  yang  dikerjakan  di  hadapan  individu,  perilakunya  diberi penguatan. Meniru dihambat bila model perilaku dihukum. Jika individu tahu model diberi hadiah atau hukuman, walaupun ia tidak mengamati kinerja perilaku itu, ada kecenderungan yang sama untuk melakukan perbuatan meniru atau tidak meniru; (b) karakteristik individu dijelaskan dalam latar belakang individu yang cenderung mudah meniru apabila:
a)      Merasa kurang harga diri atau kurang cakap karena terlalu sedikit diberi pujian  setelah  mengkinerjakan  perilaku  yang  cocok  dengan perilaku prososial;
b)     Pernah dipuji karena mengkinerjakan perilaku prososial;
c)      Sering  dipuji  karena  berkompromi  dengan  mengkinerjakan  perilaku prososial sehingga tergantung pada pujian itu;
d)     Memandang diri lebih mirip dengan model dalam beberapa segi perilaku atau keadaan tertentu;
e)      Terangsang secara emosional sebagai akibat stres yang bersumber dari lingkungan atau pengaruh bahan pemabuk.
John W. Santrock (1981) menyebut pandangan Albert Bandura tentang teori belajar sosial sebagai teori belajar sosial kognitif. Hal ini didasarkan pemikiran bahwa meniru perilaku model melibatkan proses-proses psikologis yang sangat bersifat kognitif seperti dikemukakan berikut ini.
a.      Perhatian (attention): peserta didik mengamati perilaku model dan proses meniru  dipermudah  apabila  peserta  didik  diberi  tahu  harus mengkinerjakan  yang  didemonstrasikan guru. Guru yang berwibawa, hangat dan khas membuat peserta  didik bersedia memusatkan perhatiannya.
b.      Ingatan (retention): untuk mengkinerjakan kembali apa yang didemonstrasikan guru menghendaki agar peserta didik menyimpan di dalam ingatan sehingga dapat   tereproduksikan   kembali   kesan   itu,   proses   ini   ditopang   dengan mengucapkan secara lisan perilaku model yang telah peserta didik dengar/lihat; untuk itu guru perlu mengucapkan secara gamblang setiap deskripsi tahapan perilaku yang didemonstrasikannya.
c.      Kinerja  motorik (motorik  reproduction):  kinerja  peserta  didik ditentukankapasitas ingatan yang sejalan dengan perkembangan keterampilan motoriknya, karena  itu  guru  perlu  memastikan  perilaku  yang didemonstrasikan  selaras kemampuan peserta didik menirukan.
d.        Kondisi penguatan dan insentif: peniruan berlangsung memuaskan bila insentif,baik dari diri peserta didik sendiri (rasa puas) dan dari guru/teman sekelas berupa kekaguman lisan atau non-verbal seperti anggukan dan senyuman tulus.
Bandura merumuskan perilaku ditentukan konsekuensi hasil tindakan individu sendiri serta konsekuensi tindakan orang-orang lain pada diri individu itu. Penguatan diri sama pentingnya dengan penguatan dari orang lain. Oleh sebab itu, perilaku pebelajar perlu dipahami melalui analisis interaksi timbal-balik antara perilaku dengan kondisi pengendali perilaku itu. Perilaku pebelajar sebagian membentuk lingkungan dan lingkungan yang terbentuk itu selanjutnya membentuk perilaku. Kegiatan belajar ditempuh melalui pemajanan (exposure) model kompeten yang mendemostrasikan cara pemecahan masalah. Belajar dilakukan dengan mengamati perilaku orangtua, teman sebaya, guru dan orang lain dalam wujud belajar sosial modeling. Model belajar semacam ini sering pula disebut vicarious learning dengan misalnya guru mendemostrasikan senyuman manis pada peserta didik yang menyerahkan tugas sekolah tepat waktu. Peserta didik lain melihat ekspresi lega model dan mereka termotivasi untuk meniru dengan segera menyerahkan tugasnya pula.
Awal tahun 1970-an Bandura mengajukan pandangan proses-proses kognitif  sangat menentukan dalam upaya memahami pola meniru/modeling, di samping self-reinforcement ikut berperan dalam pengendalian perilaku (kendali diri). Dijelaskan  oleh Bandura bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh respon pada lingkungan,  sekaligus individu membentuk lingkungannya sendiri melalui pengendalian stimuli  lingkungan. Oleh karena itu, Walter Mischel (1973) cenderung menggunakan istilah  cognitive social-learning theory, karena di dalamnya terkandung hal-hal berikut.
a)         Harapan (expectancies): harapan belajar atas perilaku sendiri dan perilaku orang lain adalah penentu perilaku itu.
b)        Strategi memproses informasi dan memaknai stimuli secara pribadi: cara pebelajar memproses informasi yang masuk dan mentransformasikan stimuli mempengaruhi perilakunya. Sebagian pebelajar menyimak stimuli tertentu, dan  sebagian  lainnya  mementingkan  stimuli  lain.  Ketika  stimuli  sama dipajankan pada seorang pebelajar, maka stimuli itu dikategorikan berbeda ketika disajikan pada pebelajar lain.
c)         Anutan nilai-subyektif dilekatkan pada stimuli (subjective stimuli values): anutan nilai yang diletakkan seseorang pada satu stimuli adalah penentu penting perilakunya. Anutan nilai itu menurut spesifikasi rumit, dan hanya berlaku   pada   situasi   atau   orang   khusus.
Joseph   Wolpe (1963)  menggambarkan sifat situasional cemas; fakta cemas hanya muncul di situasi  tertentu. Seorang peserta didik putra sangat cemas ketika dites matematika, namun tidak cemas ketika dites bahasa Inggris. Kecemasan menghebat ketika teman putrinya duduk di dekatnya, namun berkurang ketika berdampingan dengan golongan putri lainnya. Jadi perilaku dan persepsi tentang perilaku tergantung pada konteks sehingga pengertian ini disebut situasionalisme.  Rancangan  dan  sistem  pengaturan-diri (self-regulatory  systems  and  plans): penguatan-diri, kritik-diri dan patokan perilaku pribadi bervariasi pada peserta didik. Perilaku tertentu penting bagi seorang peserta didik tetapi mencemarkan bagi peserta didik lainnya. Dua peserta didik mendapat nilai 6,5 pada pelajaran biologi. Yang satu membuang kertas pekerjaannya karena kecewa pada nilai itu. Sedang peserta didik satunya tersenyum, bicara sendiri,merasa cukup pintar dengan nilai lulus itu. Keduanya merespons berbeda pada stimuli yang sama karena perbedaan patokan dalamberperilaku pribadi. Di samping itu peserta didik mampu menyusun rancangan kognitif yang rumit.
Pada prinsipnya kajian teori behaviorisme mengenai hakikat belajar berkaitan dengan perilaku atau tingkah laku. Hasil belajar diukur berdasarkan terjadi-tidaknyaperubahan tingkah laku atau pemodifikasian tingkah laku yang lama menjadi tingkah laku yang baru. Tingkah laku dapat disebut sebagai hasil pomodifikasian tingkahlaku lama , sehingga apabila tingkah laku yang lama berubah menjadi tingkah lakuyang baru dan lebih baik dibandingkan dengan tingkah laku yang lama. Perubahan tingkah laku di sini  bukanlah perubahan tingkah laku tertentu, tetapi perubahan tingkah laku  secara keseluruhan yang telah dimiliki oleh seseorang. Hal itu berarti perubahan tingkah laku itu menyangkut  perubahan tingkah laku kognitif, tingkah laku afektif dan tingkah laku psikomotor. Menurut pendapat Staton (1978) hasil belajar dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor sebaiknya seimbang.
Pada prinsipnya teori belajar Behavirisme menjelaskan bahwa belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman individu beriteraksi dengan lingkungannya. Perubahan yang terjadi dalam diri individu banyak ragamnya, baik sifat maupun jenisnya.  Karena  itu  tidak  semua  perubahan  dalam  diri  individu  merupakan perubahan dalam arti belajar. Jika tangan seorang anak bengkok karena jatuh dari sepada  motor,  maka  perubahan  seperti  itu  tidak  dapat  dikategorikan  sebagai perubahan hasil belajar. Demikian pula perubahan tingkah laku seseorang karena mabuk tidak dapat dikategorikan sebagai hasil perubahan tingkah laku karena belajar. Atas pijakan yang demikian, maka karakterisitik perubahan tingkah laku dalam belajar,  mencakup hal-hal seperti dikutip berikut ini.
a.     Perubahan tingkah laku terjadi secara sadar
Setiap   individu  yang  belajar  akan  menyadari  terjadinya  perubahan tingkahlaku  atau  sekurang-kurangnya  merasakan  telah  terjadi  perubahan dalam dirinya. Sebagai misal, seseorang merasa pengetahuannya bertambah,kecakapannya bertambah, keterampilanya,   bertambah, kemahirannya bertambahdan sebagainya.
b.    Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional
Perubahan yang terjadi dalam diri individu berlangsung terus menerus dan tidak statis. Satu  perubahan  yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya. Misalnya jika seseorang anak belajar menulis, maka ia akan memahami  perubahan  dari  tidak  dapat  menulis  menjadi  dapat  menulis. Perubahan ini berlangsung terus hingga kecakapan menulisnya menjadi lebih baik. Ia dapat menulis indah, dapat menulis dengan pulpen, dapat menulis dengan pensil, patur tulis dan sebagainya. Di samping itu dengan kecakapan menulis ia dapat memperoleh kecakapan lain seperti dapat menulis surat, menyalin catatan, mengarang, mengerjakan soal dan sebagainya.
c.    Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif
Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan senantiasa bertambah dan tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian makin banyak usaha belajar dilakukan makin banyak dan makin baik  perubahan  yang  diperoleh.  Perubahan  yang  bersifat  aktif  artinya perubahan  itu  tidak  terjadi  dengan  sendirinya  melainkan  karena  usaha individu sendiri
d.   Perubahan dalam belajar tidak bersifat sementara
Perubahan  yang  bersifat  sementara  atau  temporer  terjadi  hanya  untuk beberapa saat saja, seperti berkeringat, keluar air mata, bersin dan dan sebagainya, tidak dapat dikategorikan sebagai perubahan dalam arti belajar. Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat menetap atau permanen. Itu berarti bahwa tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap. Misalnya kecakapan seseorang memainkan piano setelah belajar, tidak akan hilang begitu saja melainkan akan terus dimikili bahkan akan makin berkembang jika terus dipergunakan atau dilatih
e.    Perubahan dalam belajar bertujuan
Perubahan tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai. Perbuatan belajar terarah kepada perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari.  Misalnya  seorang  yang  belajar  komputer,  sebelumnya  sudah menetapkan  apa  yang  dapat  dicapai  dengan  belajar  komputer.  Dengan demikian  perbuatan  belajar  yang  dilakukan  senantiasa  terarah  kepada tingkahlaku yang telah ditetapkan
f.     Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku
Perubahan  yang diperoleh individu setelah melalui suatu proses belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Jika individu belajar sesuatu, sebagai  hasilnya  mengalami  perubahan  tingkah  laku  secara  menyeluruh dalam sikap, keterampilan, pengetahuan dan sebagainya. Sebagai contoh, jika adalah dalam keterampilan naik sepeda. Akan tetapi ia telah mengalami perubahan lainnya seperti pemahaman tentang fungsi sadel, pemahaman tentang alat-alat sepeda, ingin punya sepeda dan sebagainya. Jadi aspek perubahan tingkah laku berhubungan erat dengan aspek lainnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa belajar diartikan sebagai perolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan. Pengetahuan mutakhir proses belajar diperoleh dari kajian pengolahan informasi, neurofisiologi, neuropsikologi dan sain kognitif. Forrest W. Parkay dan Beverly Hardeastle Stanford (1992) menyebut belajar sebagai    kegiatan    pemrosesan    informasi,    membuat penalaran, mengembangkan pemahaman dan meningkatkan penguasaan keterampilan dalam proses  pembelajaran.  Pembelajaran, diartikan  sebagai  upaya  membuat  individu belajar, yang dirumuskan Robert W. Gagne (1977) sebagai pengaturan peristiwa yang ada di luar diri seseorang peserta didik, dan dirancang serta dimanfaatkan untukmemudahkan  proses  belajar. Pengaturan  situasi  pembelajaran  biasanya  disebut management of learning and conditions of learning.
Pembelajaran saat ini menekankan proses membelajarkan bagaimana belajar (learning how to learn), serta mengutamakan strategi mendorong dan melancarkan proses belajar peserta didik. Kecenderungan lainnya adalah membantu peserta didik agar  berkecakapan  mencari  jawab  atas  pertanyaan,  bukan  lagi  menyampaikan informasi langsung pada diri peserta didik. Dalam persepsi guru, pembelajaran biasanya dimaknai sebagai (a) berbagai pengetahuan bidang studi dengan peserta didik lain secara efektif dan efisien, (b) mencipta dan memelihara relasi antara  pribadi antara dosen dengan peserta didik serta mengembangkan kebutuhan bertumbuh-kembang di bidang kehidupan yang dibutuhkan peserta didik, dan (c) menerapkan kecakapan teknis dalam mengelola sekaligus sejumlah peserta didik  yang belajar.
B.  TEORI BELAJAR KOGNITIVISME
Teori Kognitivisme mengacu pada wacana psikologi kognitif, dan berupaya menganalisis secara ilmiah proses mental dan struktur ingatan atau cognition dalam aktifitas  belajar. Cognition  diartikan  sebagai  aktifitas  mengetahui, memperoleh, mengorganisasikan,  dan  menggunakan  pengetahuan (Lefrancois, 1985). Tekanan utama psikologi kognitif  adalah struktur kognitif,   yaitu perbendaharaan  pengetahuan  pribadi individu yang  mencakup  ingatan  jangka panjang (long-term  memory).  Psikologi kognitif  memandang manusia  sebagai makhluk yang  selalu  aktif  mencari  dan menyeleksi  informasi untuk diproses. Perhatian utama psikologi kognitif adalah pada upaya memahami proses individu mencari, menyeleksi,mengorganisasikan,  dan menyimpan  informasi.  Belajar kognitif berlangsung berdasar skemata atau struktur mental individu yang mengorganisasikan hasil pengamatannya.
a. Teori Perkembangan Kognitif
Teori ini dikemukakan oleh Jean Piaget, yang memandang individu sebagai struktur kognitif, peta mental, skema atau jaringan konsep guna memahami dan menanggapi pengalamannya berinteraksi dengan  lingkungan.
Individu bereaksi pada lingkungan melalui upaya mengasimilasikan berbagai informasi ke dalam struktur kognitifnya. Dalam proses asimilasi tersebut, perilaku individu diperintah struktur kognitifnya. Waktu mengakomodasi lingkungan, struktur kognitif diubah lingkungan. Asimilasi ditempuh ketika individu menyatukan informasi baru ke perbendaharaan informasi yang sudah dimiliki atau diketahuinya kemudian menggantikannya dengan informasi terbaru. Individu mengorganisasikan makna informasi itu ke dalam ingatan jangka panjang (long-term memory). Ingatan jangka panjang yang terorganisasikan inilah yang diartikan sebagai struktur kognitif. Struktur kognitif berisi sejumlah coding yang mengadung segi-segi intelek yang mengatur  atau  memerintah  perilaku  individu; perubahan perilaku mendasari penetapan tahap-tahap   perkembangan   kognitif. Tiap tahapan perkembangan menggambarkan isi struktur kognitif yang khas sesuai perbedaan antar tahapan.
b.   Teori Kognisi Sosial
Teori ini dikembangkan oleh  L.S. Vygotsky, yang didasari oleh pemikiran bahwa budaya   berperan   penting   dalam   belajar   seseorang.   Budaya   adalah   penentu perkembangan, tiap individu berkembang dalam konteks budaya, sehingga proses belajar individu  dipengaruhi  oleh  lingkungan  utama  budaya  keluarga.  Budaya lingkungan individu membelajarkannya apa dan bagaimana berpikir. Konsep dasar teori ini diringkas sebagai berikut:
1)     Budaya memberi sumbangan perkembangan intelektual individu melalui 2 cara, yaitu melalui (i) budaya dan (ii) lingkungan budaya. Melalui budaya banyak isi pikiran (pengetahuan) individu diperoleh seseorang, dan melalui lingkungan budaya sarana adaptasi intelektual bagi individu berupa proses dan sarana berpikir bagi individu dapat tersedia.
2)     Perkembangan kognitif dihasilkan dari proses dialektis (proses percakapan) dengan cara berbagi pengalaman belajar dan pemecahan masalah bersama orang lain, terutama orangtua, guru, saudara sekandung dan teman sebaya.
3)     Awalnya orang yang berinteraksi dengan individu memikul tanggung jawab membimbing pemecahan masalah; lambat-laun tanggung jawab itu diambil alih sendiri oleh individu yang bersangkutan.
4)     Bahasa adalah sarana primer interaksi orang dewasa untuk menyalurkan sebagian besar perbendaharaan pengetahuan yang hidup dalam budayanya.
5)     Seraya bertumbuh kembang, bahasa individu sendiri adalah sarana primer adaptasi   intelektual;   ia   berbahasa   batiniah (internal   language)   untuk  mengendalikan perilaku.
6)     Internalisasi merujuk pada proses belajar. Menginternalisasikan pengetahuan  dan alat berpikir adalah hal yang pertama kali hadir ke kehidupan individu  melalui bahasa.
7)     Terjadi zone of proximal development atau kesenjangan antara yang sanggup dilakukan individu sendiri dengan  yang dapat dilakukan dengan bantuan orang dewasa.
8)     Karena apa yang dipelajari individu berasal dari budaya dan banyak di antara pemecahan   masalahanya   ditopang   orang   dewasa,   maka   pendidikan  hendaknya tidak berpusat pada individu dalam isolasi dari budayanya.
9)     Interaksi dengan budaya sekeliling dan lembaga-lembaga sosial sebagaimana  orangtua, saudara sekandung, individu dan teman sebaya yang lebih cakap  sangat memberi sumbangan secara nyata pada perkembangan intelektual  individu.
Konsep zone of proximal development merujuk pada zona yang mana individu memerlukan bimbingan guna melanjutkan belajarnya. Perlu identifikasi zona itu dan memastikan tuntutan pembelajaran tidak melampaui atau lebih rendah dari kapasitas belajar individu. Dalam pembelajaran ada scaffolding (contingent teaching), yaitu pendekatan pembelajaran yang bertitik tolak dari pemahaman dan kecakapan peserta  didik saat ini. Pendekatan  ini menghasilkan feedback segera serta memacu  peserta didik menguasai kecakapan pemecahan masalah secara mandiri.
c.  Teori Pemrosesan Informasi
Berdasarkan temuan riset linguistik, psikologi, antropologi dan ilmu komputer, dikembangkan   model   berpikir.   Pusat   kajiannya   pada   proses   belajar   dan menggambarkan cara individu memanipulasi simbol dan memproses informasi. Model  belajar  pemrosesan  informasi  ini  sering  pula  disebut  model  kognitif information processing, karena dalam proses belajar ini tersedia tiga taraf struktural sistem informasi, yaitu:
1)     Sensory atau intake register: informasi masuk ke sistem melalui sensory  register, tetapi hanya disimpan untuk periode waktu terbatas. Agar tetap  dalam  sistem,  informasi  masuk  ke  working  memory  yang  digabungkan  dengan informasi di long-term memory.
2)      Working memory: pengerjaan atau operasi informasi berlangsung di working  memory, dan di sini berlangsung berpikir yang sadar. Kelemahan working  memory sangat terbatas kapasitas isinya dan memperhatikan sejumlah kecil  informasi secara serempak.
3)     Long-term memory, yang secara potensial tidak terbatas kapasitas isinya  sehingga mampu menampung seluruh informasi yang sudah dimiliki peserta  didik.   Kelemahannya   adalah   betapa   sulit   mengakses   informasi   yang  tersimpan di dalamnya.
Diasumsikan,  ketika  individu  belajar,  di  dalam  dirinya  berlangsung  proses kendali atau pemantau bekerjanya sistem yang berupa prosedur strategi mengingat, untuk menyimpan informasi ke dalam long-term memory (materi memory atau ingatan) dan strategi umum pemecahan masalah (materi kreativitas).

C.  TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME
Pada prinsipnya pengetahuan baru dikonstruksi sendiri oleh peserta didik secara aktif  berdasarkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya. Pendekatan konstruktivisme dalam proses pembelajaran didasari oleh kenyataan bahwa   tiap   individu   memiliki   kemampuan   untuk   mengkonstruksi   kembali  pengalaman atau pengetahuan yang telah dimilikinya. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pembelajaran konstruktivisme merupakan satu teknik pembelajaran yang  melibatkan peserta didik untuk membina sendiri secara aktif pengetahuan dengan menggunakan pengetahuan yang telah ada dalam diri mereka masing-masing. Peserta  didik akan mengaitkan materi pembelajaran baru dengan materi pembelajaran lama yang telah ada. Nik Azis Nik Pa (1999) dalam Sharifah Maimunah (2001:8)  menjelaskan tentang konstruktivisme dalam belajar seperti dikutip berikut ini.
Konstruktivisme adalah tidak lebih daripada satu komitmen terhadap pandangan bahawa manusia membina pengetahuan sendiri. Ini bermakna bahawa sesuatu pengetahuan yang dipunyai oleh seseorang individu adalah hasil daripada aktiviti yang dilakukan oleh individu tersebut, dan bukan sesuatu maklumat atau pengajaran yang diterima secara pasif daripada luar. Pengetahuan tidak boleh dipindahkan daripada pemikiran seseorang individu kepada pemikiran individu yang lain. Sebaliknya, setiap insan membentuk pengetahuan sendiri dengan menggunakan pengalamannya secara terpilih.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa keaktifan peserta didik menjadi syarat utama dalam pembelajaran konstruktivisme. Peranan guru hanya sebagai fasilitator atau pencipta kondisi belajar yang memungkinkan peserta didik secara aktif mencari sendiri informasi, mengasimilasi dan mengadaptasi sendiri informasi, dan mengkonstruksinya menjadi pengetahuan yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki masing-masing. Dengan kata lain, dalam pembelajaran konstruktivisme peserta didik memegang peran kunci dalam mencapai kesuksesan belajarnya, sedangkan guru hanya berperan sebagai fasilitator.
Terjadinya  pergeseran  peranan  guru  dalam  pembelajaran  konstruktivisme tentunya membawa dampak tertentu, misalnya guru merasa beban mengajarnya menjadi ringan karena membiarkan peserta didik untuk belajar sendiri. Hal ini tidak perlu terjadi karena perspektif konstruktivisme dalam pembelajaran di  sekolah menitikberatkan pada pengalaman pendidikan yang dirancang untuk  membantu peserta didik menguasai ilmu pengetahuan. Peserta didik didorong agar berperan serta  secara  aktif  dalam  proses  pembelajaran,  sedangkan  guru  hanya   akan memainkan peranan sebagai pembimbing atau fasilitator dalam memperkembangkan pengetahuan yang telah ada dalam diri peserta didik. Pelaksanaan pembelajaran menurut teori konstruktivisme dijelaskan Postman & Weingartner (1969) seperti dikutip berikut ini.

In class, try to avoid telling your students any answers …. Do not prepare a lesson plan. Instead, confront your students with some sort of problem which might interest them. Then, allow them to work the problem through without your advice or counsel. Your talk should consist of questions directed to particular students, based on remarks made by those students. If a student asks you a question, tell him that you don't know the answer, even if you do. Don't be frightened by the long stretches of silence that might occur. Silence may mean that the students are thinking.

Kutipan  ini menekankan  pentingnya  peserta  didik didorong dan diberi kesempatan untuk aktif dalam proses pembelajaran. Peserta didik  perlu  diberi  kesempatan  untuk  bertanya,  dan  diberi  kesempatan  untuk memecahkan masalah sendiri tanpa harus dibimbing atau diarahkan oleh guru. Hal ini dimungkinkan karena hasil penelitian psikologis membuktikan bahwa pada saat belajar di dalam diri individu berlangsung proses mengkonstruksi pengetahuan baru yang sedang dihadapinya berdasarkan pengetahuan yang telah dimilikinya.
Terdapat   kekhususan   pandangan   tentang   belajar   dalam   teori   belajar konstruktivisme  apabila  dibandingkan  dengan  teori  belajar  behaviorisme  dan kognitivisme. Teori belajar behaviorisme lebih memperhatikan tingkah laku yang teramati, dan teori belajar kognitivisme lebih memperhatikan tingkah laku dalam memproses informasi atau pengetahuan yang sedang dipelajari peserta didik tanpa mempertimbangkan pengetahuan atau informasi yang telah dikuasai sebelumnya. Sedangkan teori belajar konstruktivisme berangkat dari asumsi bahwa peserta didik memiliki  kemampuan  untuk  membangun  pengetahuan  yang  baru  berdasarkan pengatahuan yang telah dikuasainya sebelumnya.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran peserta didik.  Artinya, bahwa peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya.  Dengan kata lain, peserta didik tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Sehubungan dengan hal tersebut,  Tasker (1992:30)  mengemukakan  tiga  penekanan  dalam  teori  belajar
konstruktivisme sebagai berikut.  Pertama adalah peran aktif peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna.  Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna.  Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991:12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama   dalam   pembelajaran   dengan   teori   belajar   konstrukltivisme.    Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif  peserta  didik.   Kedua,  fungsi  kognisi  bersifat  adaptif  dan  membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan  melalui  lingkungannya.   Bahkan  secara  spesifik  Hudoyo (1990:4)  mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari  oleh  apa  yang  telah  diketahui  orang  lain.   Oleh  karena  itu,  untuk mempelajari suatu materi matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut. Hanbury (1996:3) mengemukakan  sejumlah  aspek  dalam  kaitannya  dengan  pembelajaran  mata pelajaran tertentu, yaitu (1) peserta didik mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) materi pelajaran menjadi lebih bermakna karena peserta didik mengerti, (3) strategi peserta didik lebih  bernilai, dan (4) peserta didik mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996:20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3)  memberi  kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah  dimiliki  peserta didik, (5)  mendorong peserta didik untuk memikirkan  perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu pada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, peserta didik lebih didorong untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui kegiatan asimilasi dan akomodasi.

PENUTUP
Kajian konsep dasar belajar dalam Teori Behaviorisme didasarkan pada pemikiran bahwa belajar merupakan salah satu jenis  perilaku (behavior) individu atau peserta didik yang dilakukan secara sadar. Individu berperilaku apabila ada rangsangan (stimuli), sehingga dapat dikatakan peserta didik di SD/MI akan belajar apabila menerima rangsangan dari guru. Semakin tepat dan intensif rangsangan yang diberikan oleh guru akan semakin tepat dan intensif pula kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik. Dalam belajar tersebut kondisi lingkungan berperan sebagai perangsang (stimulator) yang harus direspon individu dengan sejumlah konsekuensi tertentu. Konsekuensi  yang dihadapi peserta didik, ada yang bersifat positif (misalnya perasaan puas, gembira, pujian, dan lain-lain sejenisnya) tetapi ada pula yang bersifat negatif (misalnya perasaan gagal, sedih, teguran, dan lain-lain sejenisnya). Konsekuensi positif dan negatif tersebut berfungsi sebagai penguat (reinforce) dalam kegiatan belajar peserta didik.
Seringkali guru mengaplikasikan konsep belajar menurut teori behaviorisme secara tidak tepat, karena setiap kali peserta didik merespon secara tidak tepat atau tidak benar suatu tugas, guru memarahi atau menghukum peserta didik tersebut. Tindakan guru seperti ini (memarahi atau menghukum setiap kali peserta didik merespon secara tidak tepat) dapat disebut salah atau tidak profesional apabila hukuman (negative consequence) tidak difungsikan sebagai penguat atau reinforce.
Peserta didik seringkali melakukan perilaku tertentu karena meniru apa yang dilihatnya dilakukan orang lain di sekitarnya seperti saudara kandungnya, orangtuanya, teman sekolahnya, bahkan oleh gurunya. Oleh sebab itu dapat dikatakan, apabila lingkungan sosial di mana peserta didik berada sehari-hari merupakan lingkungan yang mengkondisikan secara efektif memungkinkan suasana belajar, maka peserta didik akan melakukan kegiatan atau perilaku belajar yang efektif.
Teori belajar kognitivisme mengacu pada wacana psikologi kognitif, yang didasarkan pada kegiatan kognitif dalam belajar. Para ahli teori belajar ini berupaya menganalisis secara ilmiah proses mental dan struktur ingatan atau cognition dalam aktifitas belajar. Cognition diartikan sebagai aktifitas mengetahui, memperoleh, mengorganisasikan, dan menggunakan pengetahuan (Lefrancois, 1985). Tekanan utama psikologi kognitif adalah struktur kognitif, yaitu perbendaharaan pengetahuan pribadi individu yang mencakup ingatan jangka panjangnya (long-term memory). Psikologi kognitif memandang manusia sebagai makhluk yang selalu aktif mencari dan menyeleksi informasi untuk diproses. Perkatian utama psikologi kognitif adalah upaya memahami proses individu mencari, menyeleksi, mengorganisasikan, dan menyimpan informasi. Belajar kognitif berlangsung berdasar schemata atau struktur mental individu yang mengorganisasikan hasil pengamatannya.
Struktur mental individu tersebut berkembangan sesuai dengan tingkatan perkembangan  kognitif  seseorang. Semakin tinggi  tingkat  perkembangan kognitif seseorang semakin tinggi pula kemampuan dan keterampilannya dalam memproses  berbagai  informasi  atau  pengetahuan yang  diterimanya dari lingkungan, baik lingkungan phisik maupun lingkungan sosial. Itulah sebabnya, teori belajar kognitivisme dapat disebut sebagai (1) teori perkembangan kognitif, (2) teori kognisi sosial, dan (3) teori pemrosesan informasi.
Proses pembelajaran yang mendidik adalah proses pembelajaran yang dilaksanakan untuk membantu peserta didik berkembang secara utuh, baik dalam dimensi kognitif maupun dalam dimensi afektif dan psikomotorik. Sesuai dengan konsep kurikulum berbasis kompetensi (KBK), pembelajaran yang mendidik diorientasikan ke penguasaan sejumlah kompetensi oleh peserta didik serta didasarkan pada sejumlah kaidah ilmu kependidikan.

DAFTAR PUSTAKA
Baihagi, MIF. 2008. Psikologi Pertumbuhan : Kepribadian Sehat Untuk Mengembangkan Optimisme. Bandung : Rosda
Dale. H. Schunk. 2009. Learning Theories : An Educational Perpective. Fifth Edition. Pearson International Edition.
Rumini, S. dkk. 1993. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
Daniel Muijs & David Reinolds. 2008. Effective Teaching: Teori dan Aplikasi. Terj:HP. Soejcipto. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Muhibbin Syah. 2010. Psikologi Belajar dengan Pendekatan Baru. Bandung: Rosda
Tim Pengembangan MKDK-IKIP Semarang. 1989. Psikologi Belajar. Semarang:
   IKIP Semarang Press

Popular Posts